Posts filed under ‘Dibalik Novel WETON’
Cukup Satu Istri
MENULIS bagi saya adalah kehidupan. Maka menulis sudah menjadi keseharian saya, semua bermula dari hobi saya membaca sejak kanak-kanak. Sehari melewatkan waktu tanpa kesempatan menulis sering membuat saya gelisah, seperti ada sesuatu yang hilang dalam diri saya.
Setiap novel yang saya tulis selalu membawa saya pada peristiwa-pristiwa yang tak saya duga sebelumnya. Novel Sintren, novel perdana saya yang akhirnya masuk lima besar Khatulistiwa Literary Award 2007 itu seringkali membuat saya dipanggil sintren. (lebih…)
Cinta Itu Rumit
CINTA senantiasa menciptakan gembira, hingga hidup terasa lebih berwarna. Di situ ada perasaan sayang, cemburu, ingin mengerti, mau berkorban juga hasrat setia, tetapi cinta akan menjadi rumit ketika berhadapan dengan hitung-hitungan weton. Hari lahir dan pasaran seseorang akan dihitung-hitung oleh orangtua kita untuk kemudian dicocokkan dengan pasangan. Jika hitungan weton pasangan jatuh pada hasil satrio wirang, bumi kepethak, lebu katiup angin atau bahkan gotong mayit, maka pasangan akan ditentang habis hingga akhirnya batal menikah. Berbeda dengan hitungan weton yang jatuh pada wasesa segoro, tunggak semi, roh gemulung, satriya wibawa. Tiga hasil ini merupakan hitungan bagus sekaligus sinyal bagi pasangan untuk terus ke jenjang selanjutnya. (lebih…)
Pamulang, Pemalang, Pemulung
SETIAP kali pulang mudik lebaran ke kota kelahiranku di Batang, kami selalu melewati kota Pamulang. Kota yang lumayan bersih dengan semboyannya IKLAS. Kota yang sebelumnya kurang terdengar, tetapi kemudian mendadak terkenal karena Dulmatin.
Saya jadi ingat ketika seorang teman menulis kota Pamulang dan Pemalang dengan Pemulung. Entah ini disengaja atau tidak. Antara Pamulang, Pemalang dan Pemulung kan jelas beda, anehnya sepucuk surat dengan alamat kota Pemulung itu sampai juga di kota yang dimaksud, Pamulang atau ke Pemalang.
Pemalang merupakan kota yang tak jauh dari Batang, kota yang saya buat untuk setting novel terbaru saya novel Weton, Bukan Salah Hari. Pemalang sendiri kota yang serng saya singgahi karena ada bulek dan paman saya tinggal di kota itu. Dalam novel Weton, saya gambarkan tokoh Beno dan Mukti susah payah mencari oksigen demi kesehatan Bintang. (lebih…)
Bogol, Bonggol, Pohon yang Tersisa
NOVEL Weton, Bukan Salah Hari saya tulis dengan semangat memperkenalkan kehidupan sosial masyarakat Batang, Jawa Tengah pada khususnya dan kearifan lokal masyarakat Jawa pada umumnya. Weton merupakan hari lahir seseorang yang seringkali menjadi sandungan bagi pasangan untuk melangkah ke jenjang hubungan selanjutnya, yakni menikah. Orangtua sering mengkaitkan kebahagiaan dengan hitungan weton yang jatuh pada hitungan baik.
Novel ini saya garap berdasarkan serpihan-serpihan peristiwa yang saya alami dan saya lihat ketika masa kanak-kanak saya. Salah satunya tentang bogol. (lebih…)
Mukti
NOVEL Weton, Bukan Salah Hari merupaan weton saya ke empat berdasarkan waktu terbit. Novel ini menyuguhkan tentang mitos pengaruh weton dalam kehidupan keluarga Batang, tempat saya lahir juga pada masyarakat Jawa pada umumnya. Orang Jawa selalu menghitung weton jika hendak melaksanakan hajatan bahkan dalam menentukan jodoh anak-anak mereka. Novel ini saya suguhkan dengan menyajikan dua kubu yang saling berlawanan, yakni yang percaya dan tidak dengan weton. (lebih…)
Weton dan Jodoh
Weton dan Jodoh
Novel WETON, Bukan Salah Hari saya angkat dari kebiasaan masyarakat Jawa dalam menyikapi weton. Karenanya tak jarang ada pembaca yang merasa jalinan cerita dalam Weton memiliki kesamaan dengan nasibnya. Salah satunya gagal menikah meski sudah lama menjalin kasih, hanya karena weton tak cocok.
Weton memang akan menghadang bagi setiap pasangan yang ingin menikah, terutama dalam keluarga Jawa yang masih memiliki kepercayaan yang kuat terhadap weton. (lebih…)
Mendengar
MENDENGARKAN pembicaraan orang lain merupakan perbuatan yang kurang menyenangkan bagi orang lain, tetapi ada kalanya kegiatan nguping atau sembunyi-sembunyi mendengarkan pembicaraan orang sering dilakukan oleh Mukti. Tokoh utama dalam novel WETON yang suka sekali nguping pembicaraan orangtuanya. Nguping yang ia lakukan masih nguping yang sehat, dalam arti ingin tahu masalah apa tengah mendera orangtua dan keluarganya. (lebih…)
Hidup Untuk Bekerja
JIKA ingin kaya jadilah pedagang, begitu nasehat yang saya dengar saat remaja dulu. Saudara saya, baik bulek dan adik-adik memilih berdagang daripada bekerja di perkantoran. Keluarga saya memang keluarga pedagang, hanya saya yang keluar dari kebiasaan mereka malah jauh, yakni jadi penulis puisi. Tentu awal-awal kepenulisan saya penuh ritangan. Tak satu pun keluarga mendukung termasuk bapak saya. Hanya ibu yang memberi saya lampu hijau untuk menekuni dunia kepenulisan, hingga akhirnya saya berani menuliskan profesi novelis di belakang nama saya. (lebih…)
Menyajikan Kota Batang
INI merupakan pengalamanyang membuat saya bertanya, apakah Batang itu betul-betul kota yang tak dikenal di peta Indonesia. Ceritanya saya baru pindah rumah, untuk memangkas rambut sebenarnya saya tak terbiasa gonta-ganti salon tetapi kondisi membuat saya mengunjungi salon terdekat yang notabene adalah tetangga saya.
Kami ngobrol panjang lebar mengenai pengalaman kami masing-masing dari masa-masa mengontrak rumah sampai ke masalah anak-anak. Hingga lawan bicara saya bertanya dari mana asal saya. Saya menyebut Batang, dia sendiri berasal dari Surabaya.
“Masak sih Mbak dari Batam kok dialek mbak Jawa banget,” celetuknya mendengar jawaban saya yang berasal dari kota Batang.
“Batang mbak, Pekalongan ya jelas to medok Jawa.”
“Ooh.” (lebih…)
Khitan
KHITAN sangat dianjurkan dalam Islam, ternyata untuk menghindarkan kaum laki-laki dari penyakit yang membahayakan seperti gangguan ginjal atau kanker kulit. Khitan seringkali diikuti dengan membuat pesta yakni mengundang tetangga untuk datang ke rumah dengan jamuan makan siang juga makanan kecil lainnya. Tak jarang pula yang hanya dilakukan dengan biasa-biasa saja, tanpa menyelenggarakan pesta.
Masih ingan dengan Bagus dalam novel WETON, Bukan Salah Hari? Ia harus dikhitan meski masih sangat muda untuk ukuran kebiasaan Batang. Bagus masih berusia balita ketika dikhitan. Di novel Weton itu saya gambarkan bagaimana tegangnya Sri saat harus menemani Bagus saat dikhitan. (lebih…)
Pentingnya Khitan
ISLAM mengajarkan kepada pemeluknya untuk mengkhitankan setiap anak laki-laki. Dulu semasa saya masih remaja hanya mengetahuinya saja secara sepintas, tetapi setelah berkeluarga dan memiliki anak laki-laki baru saya memahami pentingnya khitan. Khitan dimaksudkan untuk membuang atau memotong ujung maaf alat kelamin laki-laki agar tidak ada kesempatan bagi kuman-kuman tumbuh dan berkembangbiak. Kuman-kuman itulah yang memungkinkah seseorang bisa mengalami kerusakan pada ginjal bahkan bisa sampai kanker kulit. (lebih…)
Saat Sakit Mendera
ANAK adalah harapaa n bagi setiap orangtua, apa yang dirasakan anak akan dirasakan juga oleh setiap orangtua. Saat anak sehat kita tenang melihatnya, sebaliknya ketika anak sakit kita sering dibuat panik. Dan bertanyalah makna sehat pada sisakit, kira-kira sisakit akan menjawab bahwasannya sehat itu menyenangkan, sementara sakit bikin kita menderita.
Sakit yang didera Bagus dalam novel Weton, Bukan Salah Hari memang sakit yang biasa diderita anak-anak kecil, yakni demam. Demam ini menjadi tak wajar ketika Bagus sering sakit. Sosok Bagus sebenarnya saya angkat dari serpihan keseharian saya ketika menghadapi Rizki, anak kedua saya yang laki-laki. (lebih…)
Anak Sumber Inspirasi
ANAK bagi saya merupakan sumber inspirasi dalam berkarya. Saya yakin anak juga penyemangat bagi setiap orangtua untuk lebih giat bekerja. Tak jarang dari kita sangat mendambakan kehadiran anak dalam pernikahannya. Sebuah pernikahan akan hambar tanpa adanya anak. Orantua tak pernah berpikir dua kali untuk mendapatkan anak, tak pernah mengeluh karena repot atau akan kehilangan waktu bermain dengan rekan kerja. Pendek kata anak anugrah terindah.
ADA pameo Jawa yang sampai sekarang masih suka bikin saya menebak-nebak, yakni ungkapan banyak anak banyak rezeki. Adakah ungkapan ini benar atau sebaliknya, saya pikir tergantung dari pendapat setiap individu. (lebih…)
Weton, Bidan dan Dokter
BIDAN selalu menjadi andalan utama bagi masyarakat untuk meminta pertolongan saat seorang ibu hendak melahirkan anak. Tak jarang masyarakat di kampung-kampung jika anaknya demam atau sakit apa saja juga mengunjungi bidan untuk berobat, padahal mestinya ke dokter. Sugesti yang tumbuh di hati masyarakat membuat si anak sehat kembali.
Masih ingat dengan rumah kuno yang saya jadikan sebagai rumah Sayuti di novel Weton kan? Rumah yang berada persis di mulut gang belimbing. Nah jika kita masuk ke dalam akan ada sebuah rumah yang rindang berpagar tinggi bagian belakang rumah. Maklum rumah ini bersebelahan dengan sungai yang mengalir menuju ke laut. Rumah ini berada di urutan kedua dari mulut gang. Inilah rumah milik Bidan Tin. (lebih…)
Selendang Kado dari Budhe
SRI yang lembut tapi kuat dalam memegang keyakinannya, tak tunduk untuk menyerah pada weton merupakan tokoh perempuan yang mampu berdiri di depan mengambil keputusan. Termasuk menikah dengan kekasihnya tanpa persetujuan sekalipun rintangan menghalang.
Lalu apa hubungannya selendang pemberian budhe dalam novel Weton. Selendang dalam novel Weton, Bukan Salah Hari ini merupakan salah satu peranti Sri. Selendang ini sendiri mengingatkan saya pada salah satu kerabat dari mbah putri atau nenek saya. (lebih…)
Alue Vera
SOSOK Sri dalam novel Weton, Bukan Salah Hari saya gambarkan sosok perempuan yang ayu. Salah satu kelebihannya ada pada rambutnya. Terurai panjang, hitam dan bercahaya. Sri rajin merawat rambutnya dengan daging alue vera atau lidah buaya.
Dulu bulek suka menanam lidah buaya untuk merawat rambutnya yang selalu digerai. Bulek memang suka memanjangkan rambut sampai ke punggung. Bulek termasuk kembang desa di kampung, he he. Setidaknya ini menurut pengamatanku semasa kecil dulu. Setiapkali aku diajak bulek jalan-jalan ke Alun-alun Batang selalu saja ada pemuda yang menggoda bulek. Bulek hanya menanggapinya sambil tersenyum dan berlalu begitu saja.
Suatu ketika kami hendak kliwonan, tiba-tiba ada yang menyenggol lengan bulek. Tanpa aku duga bulek mengambil batu yang ada di rel kereta api dan dilempar dengan emosi penuh, ke pemuda yang menggodanya. Pemuda itu kena dan dihampirinya bulek, aku takut bukan main, tetapi bulek dengan percaya diri memarahi pemuda itu. Orang-orang tertuju ke kami. Waktu itu aku masih di bangku sekolah dasar. Bulek memang cantik, ayu tetapi paling tak suka diremehkan. (lebih…)
Apresiasi Pembaca Novel Weton
DALAM minggu-minggu ini saya banyak mendapatkan kejutan dari pembaca novel saya Weton, Bukan Salah Hari. Yang Pertama dua orang pembaca yang mengaku sudah melahab habis novel Weton, dan menanyakan apakah ada novel terbaru. Mereka siap membaca karya saya selanjutnya. Saya terharu membaca message mereka, sekaligus merasa bertanggungjawab untuk bisa berkarya yang lebih baik lagi. Saya membalas message mereka bahwa buku saya yang lain, Satu Istri Saja Cukup sedang dalam proses terbit oleh Grasindo. Mereka siap menanti. Tentu respon dan apresiasi pembaca terhadap karya saya, menjadi penyemangat saya untuk terus berkarya. (lebih…)
KOMENTAR