Rumah di Atas Kuburan
Maret 30, 2015 at 11:10 am 5 komentar
Dianing Widya, novelis dan pegiat sosial, @dianingwy
ADA puisi termasyur yang menggunakan makam sebagai simbol kuat untuk menyatakan duka. Adalah puisi Malam Lebaran, karya Sitor Situmorang. Puisinya hanya terdiri satu baris: bulan di atas kuburan. Dalam puisi itu, secara konotatif makam digambarkan sebagai dunia “lain” yang menyajikan kemuraman dan aroma kematian yang membetot saraf-saraf kita, hingga ketidakberdayaan manusia sekaligus kekuasaan Tuhan.
Tapi kuburan hari-hari ini maknanya tidak cuma itu. Ia bukan sekedar tempat peristirahatan terakhir. Lebih dari itu, makam merupakan cara keluarga berkomunikasi dengan orang lain. Keluarga kaya tentu berbeda dengan keluarga miskin dalam urusan makam. Keluarga miskin cukup memakamkan saudaranya dengan sekedarnya. Dua nisan sederhana dari kayu dengan nama yang ditulis dengan piranti sederhana.
Urusan makam menjadi serius bagi keluarga kaya. Mereka tak akan memberikan nisan sederhana untuk orang yang mereka sayangi. Nisan akan dipesan khusus ke tukang pembuat nisan. Tentu dengan ornamen berkesan mewah. Bahkan, sebagian di antara mereka membeli khusus kavling makam yang kini banyak tumbuh di sejumlah tempat, yang tentu saja, mewah, berkelas, hijau, dan nyaman bagi para penziarah mirip taman rekreasi. Di sinilah status sosial seseorang tetap terbaca, meski sudah meninggal.
Makam juga bisa menceritakan ke publik siapa sosok yang terbenam di dalamnya. Tajmahal hanyalah satu contoh. Makam ini dibangun sebagai ungkapan cinta mendalam bagi Kaisar Shan Jahan kepada istrinya, Mumtaj Mahal. Dalam perkembangannya, makam ini menjadi salah satu tujuan wisata dari seluruh dunia. Selain menjadi lambang cinta abadi, makam ini termasuk salah satu dari tujuh keajaiban dunia.
Makam juga menjadi penanda bagi almarhum: seberapa besar namanya ketika hidup, sejauhmana pengaruhnya dalam masyarakat, hingga sekuat apa kharisma dan ilmu agamanya. Maka itu, makam orang biasa hanya dikunjungi keluarganya. Adapun makam tokoh atau orang-orang besar, ia penziarahnya dari berbagai kalangan. Ada yang datang demi kepentingan politik – termasuk politik citra, ada pula yang mendoakan untuk almarhum, meminta restu, dukungan hingga berkah.
Sikap masyarakat memperlakukan makam juga berubah. Di masa lampau, makam selalu dekat dengan suasana sepi, sintru dan menyeramkan. Ia disikapi sebagai dunia “terasing” – seperti tergambar dalam puisi Malam Lebaran Sitor Situmorang di atas. Tak heran, ketika mendengar kata makam, bulu kuduk orang selalu bergidik. Anak-anak tak bisa dengan santai melenggang di depan makam, tapi memilih jalan lain untuk menghindari makam.
Saya sendiri, yang lahir dan tumbuh dalam komunitas Jawa, ada pesan dari orang-orang tua: “Kalau melintasi atau lewat di jalan dekat makam harus mengucap salam dan minta izin.” Seolah-olah selalu ada sosok-sosok yang muncul menyeramkan dari sana. Orang pun tidak sembarangan melangkah di atas gundukan “rumah-rumah” orang yang terbaring di sana. Sebab, selain dimaknai tidak sopan, juga untuk menghormati orang yang telah tiada itu. Maka, sangat jarang misalnya, makam digusur untuk apa pun kepentingannya.
Itu berbeda dengan kini, makam kehilangan “kekuasaan” magisnya. Makam tak lagi angker. Bukan lagi tempat sunyi, “jalan” seseorang kembali ke pemilik hidup. Sehingga makam tak lagi dihormati. Karena itu makam bisa dengan mudah berubah menjadi perumahan, mall, apartemen, dan proyek-proyek modern lainya. Makam dengan mudah digusur dan jasadnya dipindahkan ke tempat lain yang terjauh.
Ia makin terkikis nilai-nilainya sebagai pengingat kematian. Kini, lewat jam sebelas malam pun kita bisa melintasi makam dengan perasaan biasa-biasa saja. Rasa takut terlupakan. Populasi manusia yang terus bertambah, kebutuhan tempat tinggal yang tinggi, membuat kita asyik-asyik saja tatkala di depan rumah di perumahan yang kita beli, terdapat makam. Atau ketika membuka jendela rumah, apartemen, hotel, bahkan mungkin rumah sakit, pemandanganya adalah makam. Ia tidak lagi menyeramkan. ***
Entry filed under: Opini.
5 Komentar Add your own
Tinggalkan komentar
Trackback this post | Subscribe to the comments via RSS Feed
1. jacoberestejacob | Maret 30, 2015 pukul 11:15 am
Up date SBSINews. Com hari ini : Budayawan Benny Susatyo menyebut bahwa menteri-menteri Kabinet Kerja berkualitas KW 2// Anggota Komisi V DPR, Agung Budi Santoso, menyesalkan langkah pemerintah yang kembali menaikkan harga bahan bakar minya//Harga BBM Naik Lagi, Jokowi Dianggap Presiden Berorientasi Pedagang//Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah mengatakan pemerintah tak beriktikad baik dengan terus mengintervensi partai politik// Red. SBSINews.Com/Cob Up date SBSINews. Com today: Cultural Benny Susatyo mention that the Labour Cabinet ministers KW quality 2 // Members of Commission V of the House of Representatives, Agung Budi Santoso, regretted that the government raised the price of fuel Minya // Fuel Prices Rise Again, Jokowi Considered President Oriented Dealer // Vice Chairman of the Board of Representatives Fahri Hamzah said the government is not good will to continue to intervene in political parties // Red. SBSINews.Com/Cob
2. jtxmisc | April 10, 2015 pukul 8:27 am
harus berusaha terus tanpa menyerah dan bekerja keras agar berhasil. menginspirasi sekali. , Chanel
3. jtxmisc | April 17, 2015 pukul 6:38 am
termakasih infonya, sangat bermanfaat , nice info mas
4. Damayanti | Juli 2, 2015 pukul 3:18 am
tak ada yang abadi; pikiran manusia terus memproduksi makna baru bagi benda benda lama…
5. dianing | Juli 3, 2015 pukul 4:29 pm
Iya mba. Makasih.