Panggung

September 15, 2015 at 4:01 am Tinggalkan komentar

Dianing Widya, novelis, pegiat sosial, @dianingwy

 

KAPAN pulang kampung? Pertanyaan ini seringkali sudah muncul sejak pekan pertama ramadhan. Bagi perantau pertanyaan itu memang amat relevan karena orang harus mempersiapkan segala sesuatunya untuk pulang kampung. Mulai dari tiket yang harus diambil jauh-jauh hari hingga oleh-oleh untuk sanak-keluarga di kampung. Setelah itu semua tersedia, baru para perantau lega.

 

Maka, pada hari yang ditentukan, mereka pun seperti para pejuang. Mereka berdesak-desakan hingga bertarung dengan kemacetan.  Namun, pemudik tidak pernah peduli. Mudik begitu kuat menghipnotis mereka. Buat mereka, inilah saatnya para pekerja menarik diri dari rutinitas kota dan kembali ke habitatnya yakni udik. Sebab, dari sanalah mereka datang dan berasal. Di sanalah eksistensi mereka yang sesungguhnya.

Sehingga mudik tidak lagi cuma bermaksud silaturahmi, tapi menjadi simbol eksistensi tadi. Sebab, silaturrahmi bisa dilakukan kapan saja. Tapi mudik hanya ada pada hari raya. Maka itu, maknanya menjadi sangat berbeda. Pulang kampung di hari-hari biasa adalah peristiwa biasa. Namun mudik adalah peristiwa super luar biasa. Di sana ada romantika, heroisme, hingga pertarungan citra.

 

Disadari atau tidak, mudik adalah panggung atau caltwalk tempat para perantau memperagakan dirinya. Tentu saja ini kesempatan langka dan hanya ada setahun sekali yakni saat Lebaran Idul Fiti. Maka, panggung itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.  Mudik harus disiapkan sematang-matangnya. Selama setahun, para perantau bekerja keras untuk mengumpulkan segala sesuatunya demi bisa mudik.

 

Maka dalam masalah mudik tidak relevan membicarakan jarak antara desa dengan kota. Sebab, dalam kenyataan sehari-hari batas itu sesungguhnya telah menyatu. Teknologi, mulai teknologi transportasi hingga komunikasi, telah membuat batas-batas kota dengan desa itu menjadi tak ada. Untuk silaturahmi biasa, orang bisa melakukannya kapan saja. Bisa pulang kampung kapang saja dan hanya butuh waktu sekejab.

 

Namun batas itu menjadi nyata saat musim mudik. Kini orang seperti kembali dalam nostalgia  puluhan tahun lalu, ketika pesawat terbang dan telepon genggam masih menjadi barang mewah. Sehingga, kala itu, orang hanya bisa bersilaturahmi saat Lebaran saja. Sehingga, seolah-olah, mereka seperti memutar waktu dan membalikkan peradaban ke masa-masa entah kapan.

 

Maka itu jika silaturahmi menjadi titik pijaknya, mudik kehilangan urgensinya. Yang sesungguhnya terjadi adalah perayaan mudik, ketimbang substansi mudik yakni silaturrahmi.  Dengan perkataan lain, orang-orang sedang merayakan mudik, bukan merayakan Lebaran, apalagi merayakan silaturahmi.

 

Perayaan momentum ini beorientasi pada pesta. Ia dibumbui  mitos-mitos. Ahli semiotika Rolland Barthes menyebutkan mitos itu dibangun oleh cara berpikir yang dikembangkan oleh masyarakat sehingga kemudian diterima sebagai kebenaran. Maka mudik pun seolah menjadi keharusan. Tak pelak, mudik pun dipahami secara sangat eksistensial. Mudik adalah salah satu cara untuk menunjukkan eksistensi diri.

 

Maka, dalam prosesi mudik yang ditonjolkan adalah keberhasilan dan kemapanan. Pemudik maupun keluarganya di kampung berada dalam persepsi yang sama. Kesuksesan itu ditandai dengan materi seperti kendaraan, pakaian, perhiasan, penampilan, asesoris, alat komunikasi, sampai cara bertutur dan berbahasa. Sehingga di jalur mudik maupun di kampung akan terlihat betul perbedaan kelas mereka.  ***

Koran Tempo, 31 Juli 2015

Entry filed under: Opini.

Rating

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


http://novelweton.co.cc

INI BUKU SAYA, BACA YA…

Image and video hosting by TinyPic NOVEL TERBARU

Novel Nawang bercerita tentang perjuangan hidup seorang perempuan. Tokoh novel ini lahir dalam keluarga yang penuh gejolak. Ia ingin mendobrak sejumlah kebiasan di kampungnya yang dianggap membuat perempuan tidak maju dan hanya puas menjadi ibu rumah tangga. Novel seharga Rp 35 ribu ini bisa didapatkan di toko-toko buku, seperti Gramedia, Gunung Agung, toko-toko buku online atau langsung ke Penerbit dan Toko Buku Republika penerbit di Jalan Pejaten Raya No. 40 Jati Padang Jakarta Selatan Telp. 021-7892845 dan faks 021-7892842.

NOVEL SEBELUMNYA

Novel Perempuan Mencari Tuhan karya Dianing Widya Yudhistira ini bercerita tentang reinkarnasi dan keresahan seorang perempuan dalam mencari Tuhan. Novel ini dapat diperoleh di toko buku terdekat, toko buku online, atau langsung ke penerbit dan toko buku Republika di Jalan Pejaten Raya No. 40 Jati Padang Jakarta Selatan Telp. 021-7892845 dan faks 021-7892842.



Novel Sintren masuk lima besar Khatulistiwa Award 2007. Novel karya Dianing Widya Yudhistira bercerita tentang seni tradisi Sintren yang makin hilang. Novel ini sekaligus menyuguhkan drama yang menyentuh: perjuangan seorang perempuan, pentingnya pendidikan dan potret kemiskinan yang kental di depan mata. Selain di toko buku dan toko buku online, juga dapat diperoleh di Penerbit Grasindo.

ARSIP

KALENDER

September 2015
S S R K J S M
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
282930  

TELAH DIBACA

  • 130.642 kali

Kategori