Posts filed under ‘Dibalik novel SINTREN’
Dibalik Proses Kreatif Novel Sintren
TIGA hari lalu saya mendapatkan pesan pendek ke ponsel. Isinya sedikit memuji jika novel Sintren begitu tersaji dengan bahasa yang sangat detail. “Apakah mba Dianing, dulu pernah menjadi Sintren?” Begitu akhirnya pertanyaan muncul. Saya tersenyum membacanya. Saya sampaikan pada dia, bahwa novel Sintren saya tulis berdasarkan pengalaman masa kanak-kanak saya.
Sintren atau penari sintren sendiri yang menjadi adalah teman saya semasa sekolah dasar dulu. Dia, yang akhirnya saya sematkan dengan nama Saraswati itu teman seangkatan saya, hanya saja lain sekolah dasar.
Dia adalah orang yang pertama kali saya wawancarai, bagaimana dulu ketika ia menjalani proses atau ujian untuk menjadi sintren. Tak setiap perempuan bisa menjadi sintren. Ia harus mampu melalui ujian. Nah ujian itulah yang saya jadikan bagian dalam novel Sintren.
(lebih…)
Hati, Jiwa dan Rasa.
SINTREN merupakan novel yang penuh kejutan buat saya. Novel perdana itu termasuk novel yang paling mudah menggarapnya. Saya menuliskannya dengan sangat mengalir. Seolah jari-jari tangan dengan otak saya berhubungan sangat kuat. Saya menuliskannya seperti tanpa memikirkannya. Hati, jiwa dan rasa saya yang dominan bekerja. Mungkin karena Sintren sudah lama mengendap jauh sebelum saya serius menekuni dunia kepenulisan.
Saya beruntung, dalam proses terbitnya bertemu dengan editor yang cerdas serta jujur. Dia tak segan mengkritik, mengkoreksi. Saya yakin editor novel Sintren sangat paham dengan budaya tradisi, kehidupan sosial wong Jawa, juga paham dengan geografi Jawa. (lebih…)
Tanah Air, Batang
SEJAUH mana pun kaki melangkah, tak akan pernah tanah air hilang dalam ingatan. Bahasa, makanan khas, kenangan masa kanak-kanak senantiasa mengkristal dalam diri. Seperti halnya kota kecil, Batang. Kota yang seringkali membuat saya harus menambahkan nama Pekalongan, agar lawan bicara saya tahu letak kota itu. Bayangkan saja sama-sama dari Jawa Tengah saja, ada teman yang merasa asing ketika saya menyebutkan nama kota kelahiran saya. (lebih…)
Si Miskin
DI mana pun tempat, si miskin kurang mendapat ruang. Baik untuk pelayanan kesehatan dan pendidikan, misalnya. Untuk pendidikan saja sekolah mahal produk pemerintah, tak memungkinkan bagi si miskin untuk bisa menikmatinya. RSBI jelas hanya bisa dinikmati oleh anak-anak orang kaya. Biaya masuknya sering membuat orang tercengang.
Bagaimana si miskin dalam novel Sintren? Zaman saya sekolah dasar dulu ada sebagian orangtua yang kesulitan menyekolahkan anaknya. Menunggak SPP sampai tiga bulan sering saya dengar. Herannya banyak dari mereka malah anak-anak yang cerdas. Saya ingat mereka yang tak bisa sekolah sampai ke SMP hingga SMA sering karena alasan ekonomi. (lebih…)
Ikan Segar
MENDAPATKAN ikan segar di Batang sangat mudah. Setiap hari laut Batang memberikan berkah bagi penduduk sekelilingnya. Hasil laut melimpah, TPI atau Tempat Pelelangan Ikan tak pernah sepi dari transaksi.
Sekali waktu di pagi menjelang siang, bapak suka ke laut yang jaraknya dua setengah kilo dari rumah. Bapak menggunakan sepeda kumbang. Tak lama, kurang dari satu jam bapak pulang dengan membawa ikan segar. Mak, saya memanggil ibu saya segera memasak ikan itu. Tak jarang bapak memasaknya dengan membakarnya. Hm, ikan bakar dari ikan segar selalu menerbitkan selera, apalagi bapak tak sayang menaruh bumbu. (lebih…)
Timun Mas
DI halaman pertama novel Sintren saya sisipkan sedikit dongeng Timun Mas dan raksasa. Pada cerita ini Saraswati yang ingin sekolah berhadapan dengan Mak yang melarang Saraswati ke sekolah. Mak memintanya untuk membantu menjemur ikan di Klidang. Sikap mak yang garang mengingatkan Saraswati pada dongeng Timun Mas.
Timun Mas adalah salah satu dongeng yang saya gemari semasa masa kanak-kanak saya. Saya membacanya di perpustakaan sekolah, salah satu ilustrasinya adalah gadis kecil yang berlari dengan wajah pucat dengan setengah menengok ke belakang. Di belakang sana raksasa sangat besar hendak melumat Timun Mas.
Oleh ibunya Timun Mas dibekali beberapa benda, yang saya ingat adalah jarum, terasi, garam dan apa lagi ya …. lupa. Dengan bekal itulah raksasa akan terhalangi mengejar Timun Mas. Setiap benda yang dilempar Timun Mas akan berubah menjadi hutan bambu, lumpur bahkan lautan. (lebih…)
Sepanjang Klidang
KLIDANG adalah salah satu nama tempat di Batang yang saya gunakan sebagai setting novel SINTREN. Di Klidang ini pula penulis Goenawan Mohammad berasal. Saya sendiri berkenalan dengan catatan pinggir beliau sejak duduk di kelas empat sekolah dasar, sampai sekarang setiap Senin saya masih terus membaca catatan pinggirnya di majalah Tempo yang selalu dibawa suami. (lebih…)
Sintren
MENULIS bagi saya sudah menjadi bagian dalam hidup saya, meski dulu banyak orang dekat saya yang memandang sebelah mata dengan pilihan saya ini. Di keluarga hanya ibu orang yang pertamakali memberi lampu hijau kepada saya. Bapak adalah orang yang menentang saya meski akhirnya mendukung saya, bahkan ikut membantu saya dalam menulis. Misalnya menjadi salah satu narasumber saya dalam menulis novel Sintren. (lebih…)
Diskriminasi Terhadap Perempuan
DALAM masyarakat Jawa, perempuan seringkali mendapatkan perlakuan yang kurang adil dalam beberapa hal, misalnya pendidikan. Perempuan Jawa seringkali harus mengalah dengan saudara laki-lakinya. Orangtua seringkali memprioritaskan pendidikan pada anak laki-laki ketimbang perempuan. Alasan mereka, toh pada akhirnya perempuan itu berada di rumah. Mengurus suami dan anak, jadi anak perempuan tak perlu sekolah tinggi. (lebih…)
Menghilangkan Kesenian Tradisional
Seorang pembaca novel Sintren mengeluh kepada saya, jika salah satu tarian yang dulu menjadi kebanggaan kampungnya sekarang hampir menghilang. Tari Jaipongan, begitu ujar teman saya itu, kurang diminati kaum remaja. Dia berharap masih ada generasi muda yang masih peduli dengan budaya bangsa yang sesungguhnya selalu eksotik. (lebih…)
Sintren, Tarian Beraroma Magis
ADA seorang pembaca dari luar Jawa, menanyakan tarian sintren itu seperti apa. Saya mencoba menjawabnya sejelas mungkin. Untuk menjadi penari Sintren, seorang gadis harus melewati semacam ujian, apakah dia mampu untuk menjadi sintren atau tidak. (lebih…)
Dari Sebuah Cerpen
NOVEL Sintren bermula dari sebuah cerpen yang saya tulis dengan niat mengirimkannya ke harian Republika. Waktu itu saya sedang berada di Batang. Sebuah harian nasional menarik perhatian saya dan membacanya di rubrik budaya. Di situ terdapat seorang seniman yang melestrikan salah satu budaya lokal. Seingatku bukanlah sintren, tetapi saat itu pikiran saya tergerak untuk menulis tentang sintren.
Cerpen Sintren saya buat dalam waktu singkat dan saya langsung mengirimkannya ke Republika. Dalam hitungan minggu cerpen itu dimuat di harian yang sama di bulan Oktober 1998. Saya menulis puisi, cerpen, juga laporan jurnalistik sejak 1992. Tak ada target tahun berapa saya akan menulis sebuah novel, hanya saja beberapa nama membuat saya terinpirasi untuk menulis novel. (lebih…)
KOMENTAR