Rindu Azan

Juni 23, 2015 at 1:05 pm Tinggalkan komentar

Rindu Adzan

Dianing Widya

 

SUARA adzan membosankan akhir-akhir ini. Gemanya memekakkan telinga. Betapa tidak, dalam sehari lima kali beberapa masjid di dekat aku tinggal berlomba-lomba mengeraskan suara saat menggemakan adzan. Dari sekian muadzin tak satu pun yang alunannya menggetarkan hati. Rata-rata dari mereka bersuara tak merdu bahkan cenderung berteriak. Pening mendengarnya, terlebih rumahku berada di samping masjid. Persisnya di sebelah bilik kecil tempat marbot tinggal.

Kadang aku berpikir apakah Tuhan itu sangat jauh, hingga untuk memanggilnya diperlukan pengeras suara? Entahlah.

“Pak shalat subuh dulu, semua sudah rapi,” ujar Narti istriku yang selalu setia menemani dan membantu, menyiapkan dagangan sayuran. Aku sekarang tak keliling kompleks untuk berjualan keperluan ibu rumah tangga di sekitarku. Mereka yang mendatangiku ke rumah untuk belanja. Aku belum memiliki warung yang tertutup. Barang dagangan yang terdiri dari ikan segar, aneka bumbu dan sayuran itu aku gelar di atas gerobak dorong dan dua meja, di depan rumah. Dua meja itu aku tata menyerupai hurul L, mengahadap ke jalan. Sedang gerobak aku taruh di samping kiri.

Aku tak sempat shalat subuh berjamaah dengan Narti, kami gantian jika salat subuh. Itu pun aku lakukan sering dengan tergesa-gesa, maklum tak ada yang menjaga dagangan di luar. Dalam shalat pikiranku selalu tertuju ke dagangan, aku takut ada orang yang iseng mengambil daganganku. Pastilah aku merugi. Berapa sih untungnya satu kantong ikan segar, atau satu ikat kangkung?

Tak lama setelah beberapa orang, bisa dihitung dengan jari,  turun dari masjid, orang-orang mulai berdatangan untuk belanja. Jika Narti suka salat subuh berjamaah di masjid, aku sejak pertama di sini, lebih suka menunaikan subuh sendirian.  Lama-lama Narti pun lebih suka salat subuh di rumah.

“Malu kalau langsung pulang Pak, nggak dengerin ceramah dulu.” Aku tersenyum menanggapinya.

Memang di masjid yang didirikan persis di samping sungai itu setiap subuh ada yang berceramah, tetapi bukan guru agama atau ustadz yang kami kenal. Bukan dari salah satu warga kompleks, melainkan pendatang yang suka berkeliling dari satu masjid ke masjid lain. Herannya, biar pun tak ada warga sekitar yang mendengarkan ceramah, mereka tetap saja menggelar ceramah. Tentu teman-teman mereka sendiri yang mendengarkan.

*     *     *

Ada yang aneh dengan hari ini. Jam empat sore. Belum juga Manin, marbot masjid mengumandangkan azan. Aku menautkan kening, ingat kalau sejak subuh azan tak bergema. Aku bergegas ke pondok kecil, tempat Manin tinggal. Tak ada tanda-tanda kalau ada orang di pondok itu. Sejenak aku lihat masjid sepi. Biasanya jam segini masjid dipenuhi anak-anak untuk belajar membaca Alqur’an.

“Manin pulang kampung,” ujar Narti. Sekarang aku maklum mengapa tak ada suara azan sejak subuh tadi. Anehnya masjid lain RT pun mulai jarang terdengar kumandang  azan.

Maghrib tiba, masjid kosong. Tak satu pun orang datang untuk salat. Biasanya ada satu dua shaf warga kompleks berjamaah salat maghrib. Sebagian besar adalah anak-anak yang sering membuyarkan kekhusukkan. Mereka lebih sering bercanda ketimbang salat dengan tenang.

Satu minggu berlalu tanpa mendengar suara azan terasa sepi. Warga komplek memang hampir tak punya waktu untuk meyempatkan diri mengunjungi masjid, apalagi untuk mengumandangkan azan. Mereka selalu pergi ke kantor pagi-pagi, dan pulang selepas Isya. Praktis masjid hanya diisi oleh anak-anak saja. Tak jarang anak-anak itu saling beradu sikut, mengganggu temannya yang akhirnya menganggu juga jemaah lainnya.

Minggu kedua aku mulai kacau. Seminggu lebih aku selalu terlambat bangun untuk merapikan dagangan di atas gerobak. Hanya istriku yang merapikan sendirian, padahal ia juga harus menyiapkan makan pagi anak-anak. Usai itu mengantar mereka ke sekolah. Ia akan membangunkan aku, kalau tidak tahu harga seikat sayur atau sekantung ikan. Aku akan gelagapan. Menunaikan subuh tidak mungkin lagi. Langit sudah terang. Jadilah aku tak menunaikan subuh. Istriku selalu bilang, tak tega kalau memaksaku bangun. Sudah dibangunkan berulangkali tak bangun-bangun juga, begitu ia berujar.

*     *     *

Menjelang zuhur daganganku habis tak tersisa. Aku lega, artinya aku bisa menyisihkan sebagian keuntungan untuk tabungan anak-anak. Aku dan istri memang bertekad menyekolahkan mereka sampai sarjana. Jangan sampai anakku bernasib sama seperti kedua orangtuanya. Hanya lulus sekolah menengah atas lalu bekerja karena orangtua tak mampu. Angkat tangan kalau harus memasukkan aku ke bangku kuliah. Sedih jika ingat itu. Sejak kecil aku ingin sekolah tinggi, hingga aku terus meminta ke orangtua untuk sekolah, tetapi orangtua sudah maksimal berusaha.

Usai membersihkan gerobak dan lantai, sejenak aku duduk berselonjoran kaki. Kalau saja ada yang bisa aku minta tolong memijat telapak kakiku, tentu menyenangkan. Meminta tolong sama istri, tak tega. Aku pikir ia lebih lelah ketimbang aku, atau jangan-jangan ia merasakan pegal-pegal yang sama. Ingin ada yang memijatnya, tetapi tak enak memintaku memijatnya.

Aku bersandar pada dinding.

“Sudah masuk zuhur belum ya, pak.”

Aku tak menjawab pertanyaan Narti, aku menoleh ke masjid yang kosong. Masjid itu tampak merana setelah ditinggal marbot. Tak ada yang membersihkan pintu, serta dinding yang sengaja dibuat berlubang-lubang bujur sangkar kecil, terbuat dari kayu. Lantai yang biasanya setiap pagi dan sore disapu Manin, dua minggu ini hanya setiap sore saja disapu Narti. Lebih dari itu, sudah dua minggu ini azan tak bergema.

“Sudah zuhur, bapak coba azan. Kasihan masjid kok nggak diurus.” Aku terhenyak. Azan? Kalau hanya salat lima waktu aku sanggup menunaikan, tetapi bagaimana dengan akhlak dan amalanku setiap hari. Apakah aku sudah cukup bersih di hadapan Tuhan semesta? Apakah akhlakku sudah mencerminkan pribadi muslim? Ah, rasanya jauh.

“Ayo Pak.”

“Nggak Bu, malu aku.” Aku berdiri dan masuk ke dalam.

“Malah masuk rumah,” ujar istriku dengan nada heran, seperti tengah meminta kepada anaknya untuk mengerjakan sesuatu.

“Mau mandi,” ujarku terus masuk ke dalam.

*     *     *

Aku mulai terbiasa menunaikan salat tanpa mendengar azan terlebih dulu. Aku hanya berpatokan pada kalender yang menunjukkan masuknya waktu salat, juga bayang-bayang pepohonan di tanah, serta bias warna matahari di kaki langit. Ada yang mengusik batinku kali ini. Ucapan Narti agar aku mengumandangkan azan. Aku mulai menimbang-nimbang untuk melakukannya, tetapi apakah aku pantas mengumandangkan azan di masjid?

Malam ini, usai belanja di pasar untuk jualan besok pagi, aku susah memejamkan mata. Aku menunggu waktu subuh masuk. Aku ingin mengumandangkan azan di masjid sebelah rumah. Walau bertahun-tahun tak pernah mengumandangkan azan, remajaku di kampung dulu, aku terhitung sering mengalunkan azan.

Tak bisa tidur, aku merapikan dagangan ke gerobak, hingga waktu subuh masuk. Aku segera membersihkan diri. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Melihat-lihat ke seluruh sudut-sudut masjid, memastikan tak ada orang lain. Setelah yakin tak ada yang melihatku, aku berjingkat-jingkat seperti pencuri, menuju podium tempat biasa Manin mengumandangkan azan.

Entah mengapa tanganku bergetar saat menyiapkan pengeras suara, dan berdiri di ruangan paling depan bagian masjid ini. Aku jauhkan pengeras suara setelah menghidupkannya. Segera aku mengumandangkan azan pelan-pelan. Aku mencoba menghayati setiap kalimat yang aku kumandangkan, hingga ada sesuatu mengalir bening di dadaku. Tubuhku lunglai usai mengumandangkannya.

Aku sekuat tenaga, segera membaca iqamah tanpa pengeras suara. Melangkah keluar masjid. Aku tak ingin ada yang tahu, akulah yang mengumandangkan masjid. Aku memilih salat subuh di rumah. Usai salat Narti keluar kamar sambil menahan kantuk. Ia bertanya siapa gerangan yang mengumandangkan azan.

“Manin,” jawabku begitu saja. Narti menggeleng ragu sembari menautkan kening.

“Rasanya bukan,” seperti bergumam.

*     *     *

Sejak itu aku selalu rindu mengumandangkan azan, terutama di waktu subuh. Di waktu-waktu lain aku akan mengalunkan azan, jika keadaan sepi. Jika ada orang di sekitar masjid, aku lebih suka langsung salat.

*     *     *

Aku mulai terbiasa bangun tanpa alunan azan. Entah subuh ini sudah berapa kali aku mengalunkan azan, hanya saja ketika  asyik melayani pembeli, beberapa ibu-ibu membicarakan soal gema azan yang lain akhir-akhir ini.

“Ngerentes dengarnya.”

“Iya, tak seperti biasanya. Biasanya azan bikin gaduh karena sangat keras, mana suaranya sumbang lagi.”

“Hust,” ibu yang lain mencoba mengingatkan agar bicara yang baik.

“Lha kenyataannya begitu Bu. Orang azan kok seperti Tuhan itu jauuuh banget. Pakai pengeras suara keras-keras. Jadinya kita malah terganggu.”

“Benar juga sih,” sambung ibu-ibu yang lain, aku hanya diam saja.

“Tapi siapa ya, yang azan akhir-akhir ini.  Suaranya … aduuh pokoknya kita mau nangis dengarnya.”

“Iya, lirih, merdu, syahdu, bening …” aku diam-diam tersenyum. Syukurlah kalau ada yang suka mendengar suaraku.

“Siapa ya yang azan?,” tanya yang lainnya.

Aku membuang akar kangkung yang sudah dipilih pembeli.

“Manin kan belum balik ke sini.”

“Manin nggak akan balik ke sini, ia buka usaha di kampung.”

“Baguslah.”

“Lho kok bagus, siapa yang mengurus masjid kalau Manin nggak balik ke sini.”

“Bagus karena ia bisa mandiri. Berapa sih gaji marbot?”

Aku termangu diantara riuh rendah percakapan ibu-ibu. Diam-diam aku pandangi masjid yang sepi. Manin si marbot itu tak akan balik ke sini. Artinya entah untuk berapa lama masjid tak ada yang mengurusi. Entah berapa lama lagi suara azan lima kali sehari bisa terdengar?

Aku malu kalau nanti ada orang tahu, akulah orang yang biasa mengumandangkan azan selama ini.

Majalah UMMI edisi Mei 2015

 

Entry filed under: CERPEN.

Agar Anak Miskin Terus Sekolah Menghargai Perempuan

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


http://novelweton.co.cc

INI BUKU SAYA, BACA YA…

Image and video hosting by TinyPic NOVEL TERBARU

Novel Nawang bercerita tentang perjuangan hidup seorang perempuan. Tokoh novel ini lahir dalam keluarga yang penuh gejolak. Ia ingin mendobrak sejumlah kebiasan di kampungnya yang dianggap membuat perempuan tidak maju dan hanya puas menjadi ibu rumah tangga. Novel seharga Rp 35 ribu ini bisa didapatkan di toko-toko buku, seperti Gramedia, Gunung Agung, toko-toko buku online atau langsung ke Penerbit dan Toko Buku Republika penerbit di Jalan Pejaten Raya No. 40 Jati Padang Jakarta Selatan Telp. 021-7892845 dan faks 021-7892842.

NOVEL SEBELUMNYA

Novel Perempuan Mencari Tuhan karya Dianing Widya Yudhistira ini bercerita tentang reinkarnasi dan keresahan seorang perempuan dalam mencari Tuhan. Novel ini dapat diperoleh di toko buku terdekat, toko buku online, atau langsung ke penerbit dan toko buku Republika di Jalan Pejaten Raya No. 40 Jati Padang Jakarta Selatan Telp. 021-7892845 dan faks 021-7892842.



Novel Sintren masuk lima besar Khatulistiwa Award 2007. Novel karya Dianing Widya Yudhistira bercerita tentang seni tradisi Sintren yang makin hilang. Novel ini sekaligus menyuguhkan drama yang menyentuh: perjuangan seorang perempuan, pentingnya pendidikan dan potret kemiskinan yang kental di depan mata. Selain di toko buku dan toko buku online, juga dapat diperoleh di Penerbit Grasindo.

ARSIP

KALENDER

Juni 2015
S S R K J S M
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930  

TELAH DIBACA

  • 130.642 kali

Kategori