Posts filed under ‘CERPEN’
Sangkan
Dianing Widya
DI kampung tak ada yang tak kenal Sangkan. Laki-laki berperawakan tinggi, bertubuh kurus, wajah tirus dengan tulang pipi keras itu memang membuat gentar setiap orang. Matanya sama sekali tak enak saat bertatapan dengannya. Mata yang tak teduh, mata itu kadang redup karena minuman keras yang merasuk ke tubuhnya, terkadang garang karena amarah.
Sangkan gemar membuat keonaran. Setiap hari pekerjaannya keliling pasar mengambil paksa dagangan orang untuk memenuhi keperluan dapur. Pekerjaan resminya menjaga parkir sepeda di atas lahan warisan, di depan pasar dengan tarif harga pas. Artinya tak melayani kembalian. Berapa pun uangnya tak akan dikembalikan kelebihannya.
Rindu Azan
Rindu Adzan
Dianing Widya
SUARA adzan membosankan akhir-akhir ini. Gemanya memekakkan telinga. Betapa tidak, dalam sehari lima kali beberapa masjid di dekat aku tinggal berlomba-lomba mengeraskan suara saat menggemakan adzan. Dari sekian muadzin tak satu pun yang alunannya menggetarkan hati. Rata-rata dari mereka bersuara tak merdu bahkan cenderung berteriak. Pening mendengarnya, terlebih rumahku berada di samping masjid. Persisnya di sebelah bilik kecil tempat marbot tinggal.
Kadang aku berpikir apakah Tuhan itu sangat jauh, hingga untuk memanggilnya diperlukan pengeras suara? Entahlah.
Cermin
HANYA orang mati yang tak bisa bercermin. Sekarang sosok di depan cermin itu, adakah ia diriku? Aku selalu ragu jika tengah bercermin. Aku tak pernah puas dengan pantulan yang ada di depanku.
Cermin ini seperti mengutukku. Ia, seperti malaikat yang sibuk mencatat kesalahanku.
Satpam Kami
Dianing Widya
MEMASUKI lorong rumahku terasa ada yang aneh. Biasanya melebihi jam sebelas malam, portal sudah direbahkan. Aku tak pernah berhenti merutuk setiapkali pulang kerja, melihat portal rebah. Aku harus turun dari motor, lalu susah payah mencari kunci serep di tas rangselku. Ini Jakarta, bukan di pelosok kampung. Orang pulang kerja di atas jam sebelas, duabelas malam bahkan sampai dini hari, menjadi hal biasa. Berbeda jika tinggal di kampung. Jam sembilan malam orang-orang sudah ngruntel di kamar tidur.
Aku menautkan kening. Aku tak punya kesempatan merutuk-rutuk sama Mungkin. Mungkin, orang-orang memanggilnya dengan melafadzkan huruf i dengan huruf e seperti membaca pada cabe. Aku tak tahu apakah itu nama asli atau nama iseng, atau bahkan nama olok-olokkan.
Warisan
Dianing Widya
ADA yang menghantam jantungku, hingga tak bisa aku bedakan, apakah saat ini aku masih bernafas atau tidak. Kania, anak perempuanku semata wayang mengajukan permintaan sulit.
“Bunda.” Aku pandangi matanya yang penuh harapan dan menghiba. Pada mata itu aku lihat jelas restuku menjadi bagian penting dalam hidupnya.
“Beri bunda waktu,” pintaku sembari memandangi taplak meja bermotif batik pemberian ibu beberapa waktu lalu.
Penjara dalam Tubuh
IBU mengantar keluarga Frans hingga ke halaman. Aku di sini memandang dari kursi tamu dengan kepala penuh lintasan kereta api. Dari jauh ribuan lintasan kereta api dengan raungan sirine, saling berebut. Telingaku hampir tak sanggup menampungnya. Aku lihat Ibu masih setia menunggu satu persatu keluarga Frans masuk ke mobil. Gerakan tubuh mereka begitu lamban, terlebih pada Frans. Kekasih yang setia menemaniku sejak delapan tahun lalu itu, tampak lunglai seperti serdadu kalah perang. Kekasih? Dadaku selalu bergemuruh jika keluargaku menganggapnya sebagai calon suami.
Sembilu
MATAHARI runtuh di kepala laki-laki berwajah tirus itu. Toko bahan bangunan yang bertahun-tahun menjadi sumber penghasilan ludes. Api tanpa belas kasih menghanguskan semua harapan. Semua yang ada di depannya tinggal asap dengan ekor putihnya yang muncul dari sela-sela reruntuhan.
Dari sela-sela benda yang hangus itu tampak benda putih kecil kehitaman bopeng di sana-sini. Pelan-pelan laki-laki itu membungkukkan badannya. Mengambil benda itu dan menidurkannya di telapak tangannya. Menggenggamnya. Ia merasakan kehangatan di telapak tangan itu menghunjam ulu hatinya.
(lebih…)
Engkau adalah Rumah
MATAHARI pecah di kepalaku. Kebahagiaan di depan mata itu, engkau hancurkan Layla. Tanggal pernikahan yang kita sepakati bagai mainan bagimu. Ponselmu tak pernah aktif. Apartementmu kosong. Teman-teman kantormu hanya bilang kamu pindah tanpa meninggalkan alamat kerja baru. Kedua orangtuamu, saudaramu hanya mengangkat bahu ketika aku tanya keberadaanmu.
(lebih…)
Menikah
Dianing Widya Yudhistira
AKU menggeleng tegas di depan Indra. Dari air mukanya aku tahu jelas langit telah runtuh dalam tubuhnya. Lamarannya aku tolak. Aku menolaknya bukan karena wajahnya yang pas-pasan, bukan juga karena dia pemuda tanpa penghasilan. Postur tubuhnya tinggi atletis, dengan hidung mancung serta bola mata yang mampu menggetarkan rasaku. Aku sering dibuatnya cemburu jika ia tengah berbincang-bincang dengan teman perempuan di kantorku.
Ia laki-laki yang hampir tanpa cela. Jenjang pendidikannya lebih tinggi dari aku yang sarjana. Aku memang lebih menyukai laki-laki yang tingkat kecerdasannya di atasku, bukan di bawahku. Laki-laki atau suami bagiku bukan sekedar teman hidup di rumah, melainkan pendukung karir istri.
Indra sosok paling ideal. Ia sangat peduli dengan isu-isu perempuan. Ia sangat mendukung perempuan dalam berkarya.
“Aku ingin istriku kelak bukan istri yang pekerjaannya di dapur melulu, tetapi istri yang mau tampil ke depan.” Ucapnya suatu ketika. Saat itu aku membayangkan betapa senangnya jika punya suami seperti Indra.
Lalu apa alasanku menolak Indra? Ini masalahnya. Aku seringkali melihat sosok bapak ada pada setiap laki-laki. Entah berapa laki-laki yang datang dan pergi dalam hidupku. Aku selalu menjaga jarak jika aku mulai membaca bahasa tubuh laki-laki telah tertarik padaku. Lalu dengan tegas aku menolak jika diajak menikah. Aku takut nasib buruk ibuku diwariskan kepadaku.
* * *
(lebih…)
Meniti Cahaya
Sumber : REPUBLIKA
Minggu, 24 Mei 2009
“TUHAN telah meninggalkanku,” pekik Prasasti. Perempuan muda bermata setajam elang. Pekiknya menggelegar di sudut-sudut penjara yang pengab. Seekor kelelawar terhenyak, saat menikmati menu makan malam dengan kaki bergelantung. Susah payah ia menelan remahan makanan yang tersangkut di kerongkongannya. Berkali-kali kelelawar itu mengurut dadanya, sembari istighfar. Suara siapakah yang memecah keheningan malam? Menyebut Tuhan telah meninggalkannya. (lebih…)
Email Terakhir Zahwa
Oleh : Dianing Widya Yudhistira
Sumber : NOVA, edisi 2-8 Februari 2009
SEMUA bermula dari surat elektronik yang masuk ke emailku, pertengahan April 2008. Seorang mahasiswi Universitas Sydney, yang tengah menyelesaikan masternya di bidang sastra Indonesia ingin mengenalku lebih dekat. Dalam suratnya ia mengatakan bahwa ia sangat suka novelku, Sintren.
Semula aku menanggapi surat elektronik itu biasa-biasa saja. Ia pasti mahasiswa Indonesia yang sedang belajar disana. Namanya Zahwa Suraia Najib. Ia sangat fasih berbahasa Indonesia.
Seminggu kemudian datang lagi emailnya. Ia mengabarkan akan segera berkunjung ke Indonesia, dan memohon kesediaanku menemaninya menyusuri pantai utara. Ia ingin mengunjungi tanah Batang, setting dalam novel sintren. Aku nyaris tidak percaya pada apa yang kuhadapi. Aku merasa tersanjung.
Memburu Cahaya
Cerpen Dianing Widya Yudhistira
Matahari mengeliat tepat di atas menara masjid. Kezia dan anjingnya berjingkat-jingkat di atas aspal jalan. Siang itu udara seperti berlomba-lomba menaikkan suhunya dengan suhu aspal yang sesekali terlihat asap di bagian tengahnya. Dari kejauhan aspal itu menciptakan cahaya kebiruan.
Kezia, perempuan berkulit coklat dengan gigi berderet rapi. Wajahnya biasa saja. Tapi, coba lihat matanya yang bening, mengabarkan bahwa hidup mesti disikapi dengan kebeningan hati. Alisnya yang lebat melindungi sepasang mata beningnya. Tepat di atas alis matanya, ada bekas luka yang sulit dihilangkan. (lebih…)
Tangan yang Bercahaya
Cerpen: Dianing Widya Yudhistira
Sumber Suara Karya, Sabtu, 1 Nopember 2008
“INI kutukan!,” teriak seseorang memecah keheningan yang gersang. Orang-orang yang memenuhi tanah lapang itu terhenyak. Mereka memandang ke seseorang yang berteriak. Sementara orang yang berteriak kebingungan, mengapa orang-orang memandangi dirinya? (lebih…)
Tetangga
Dianing Widya Yudhistira
Sumber : Seputar Indonesia, Minggu 19 Oktober 2008
MINGGU. Ini hari kedua aku menempati rumah sendiri. Kebanggaan sekaligus ketenangan mengalir dalam hatiku. Aku bisa mewujudkan keinginanku: punya rumah yang layak huni. Ada halaman, ruang tamu, kamar, dapur serta kamar mandi. Juga sedikit taman di bagian belakang. Tidak seperti rumah kontrakan yang kami huni sebelumnya. Tak ada pembagian ruangan yang tegas. Untuk membedakan ruang tamu dengan kamar tidur, aku dan istriku memisahnya dengan lemari pakaian. Kamar tidur tak ada pintu. Jika ada tamu, mata mereka akan segera tertancap ke tempat tidur kami. (lebih…)
Bayang-bayang Wening
Cerpen Dianing Widya Yudhistira
Sumber NOVA, No. 1076 6-12 Oktober 2008
Senja mengapung di sudut langit. Semburat warna keemasannya memantul ke lantai teras rumah, menciptakan bayang-bayang Wening. Bayang-bayang yang barangkali kian mengabur dimakan waktu, hingga hanya meninggalkan kenangan. Si bungsu itu telah meninggalkan rumah kemarin pagi bersama suaminya. (lebih…)
Senandung di Makam
Cerpen Dianing Widya Yudhistira
Sumber: Tabloid NOVA, 7-13 Juli 2008
AKU benci makam sejak dulu. Karena makam senantiasa menciptakan kesenyapan, aroma samboja, kehilangan, juga kekalahan manusia pada takdir. Lihatlah gundukan tanah dengan batu nisan yang angkuh itu, ia seolah berkata, kelak manusia akan dilahapnya tanpa perlawanan.
Kalau saja bapak masih hidup, aku tak sudi memasuki makam. Kalau saja ibu tidak terus memaksaku, aku bisa menekan perasaanku agar tidak ke makam. Tapi ibu sering memaksa, dengan kata-katanya yang sengit, seolah-olah aku tidak mencintai Bapak. Padahal, aku sangat sayang padanya.
(lebih…)
Pernikahan Angin
Cerpen Dianing Widya Yudhistira
Ini cerpen lama, saya bikin pada 1990-an, dan pernah dimuat di Majalah Horison. Tadi, ketika sedang surving, saya menemukan kembali cerpen itu pada sebuah blog [ http://goesprih.blogspot.com/2008/04/dyaning.html ]. Terima kasih kepada pemilik blog tersebut. Saya ingin kembali menampilkan cerpen itu di sini, sekalian menyimpannya. Salam [Dianing]
Aku di sini. Berada di ketinggian menara. Menikmati senja. Senja kali ini
berwajah pucat. Langit diam. Sepi. Melintas di depanku burung gagak bergaun
hitam. Menari di depanku. Tarian yang sebelumnya belum pernah aku saksikan.
Seperti mengabarkan sesuatu yang ganjil. (lebih…)
KOMENTAR