Posts filed under ‘ARTIKEL RINGAN’
Charlie Hebdo
LAMA nggak ketemu sama mbak In, bikin kangen. Mumpung ada waktu untuk keluar rumah, saya menyempatkan diri mengunjunginya. Baru membuka pintu, mbak In sudah di depan mata. Selalu ada yang ia bawa jika ke rumah. Tas berwarna putih dari kertas tebal bergambar setangkai mawar lengkap dengan tulisan “Rose”.
Mba In langsung menuju kursi yang kami tata di teras. Menaruh bingkisan di atas meja. Kami duduk saling berhadapan.
“Ada titipan dari Pertiwi buatmu.” Saya tergoda membuka bingkisan itu. Ternyata miniatur menara Eiffel. Saya memandanginya bukan lagi dengan takjub, melainkan dengan dahi mengkerut. Miniatur di tangan kanan ini mengingatkan majalah Satire Charlie Hebdo yang kantornya diberondong tembakan, lalu sepuluh orang meninggal dan belasan lainnya luka-luka. Lama saya memperhatikan miniatur menara ini, seraya mengingat kartun-kartun yang menusuk perasaan itu.
Rindu Ruh Puasa
MENJELANG sore mba In mengetuk pintu. Aku memang punya janji sama dia untuk keluar. Sekedar menikmati kemacetan Sabtu di kawasan Pamulang – Serpong. Tinggal di kawasan Pamulang aku tanpa sengaja mengikuti pertumbuhan Pamulang yang pesat. Lahan kosong di sebelah danau, berdiri megah pusat belanja. Di belakang kompleks aku tinggal, berdiri banyak perumahan dengan berbagai nama.
Sayangi Anak Kita
SAYA menghela napas ketika mbak In datang ke rumah dengan wajah menyimpan masalah. Ada apa gerangan yang tengah membelit pikiran mbak In hingga ucapan salam yang ia sampaikan terucap lirih. Aku membalas salamnya dengan lirih pula seolah larut dengan wajahnya yang muram.
Aku enggan bertanya sama mbak In. Lebih baik aku bikinkan dia segelas kopi Ulee Kareng dicampur dengan susu kental putih. Mantabs. Tapi baru hendak melangkah ke dalam, mbak In mencegahku dan duduk di ruang tamu.
“Aku hanya sebentar Jeng, sebentar lagi mengantar Najwa ke sekolah.”
“Paud Melati?” Mbak In mengangguk.
“Biasanya Lila yang mengantar Najwa.”
“Itu dia Jeng saya ini sedang bingung.”
“Kenapa?” Saya kemudian duduk.
(lebih…)
Rawat Anak Kita dengan Cinta
MINGGU pagi itu, kami keluar rumah di kawasan Depok menuju Jalan Sudirman, Jakarta Pusat. Kami ingin menikmati hari tanpa kendaraan yang jatuh pada Minggu terakhir tiap bulan di Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin. Nah di jalan, beberapa ratus meter sebelum Sudirman, kami singgah di sebuah kedai kecil yang menjual mie ayam.
Sambil menunggu pesanan mie ayam, kami menikmati makanan kecil yang tersedia. Tak jauh dari tempat itu, terdapat satu rumah yang tampaknya merupakan gudang menyimpan barang-barang dagangan. Tempat itu dihuni oleh satu keluarga muda dengan empat anak yang masih kecil.
(lebih…)
Jejaring Sosial
PONSEL saya berdering pendek di awal hari. Isinya memberitahukan tentang undangan menjadi pembicara di sebuah forum diskusi dengan kepenulisan. Sepintas saya berpikir masih lama, dua minggu ke depan lagi. Masih banyak waktu, jadi makalah bisa saya tulis minggu depan saja. Sejenak saya melihat ke kalender, saya menautkan kening. Ternyata sudah Desember. Artinya lagi waktu bukan dua minggu lagi tetapi kurang dari itu.
Saya menghela napas. Betapa waktu tak pernah berjalan, melainkan berlari kencang bagai kuda perang yang terluka.
Perputaran waktu itu pula yang membawa kita ke sebuah era bernama Globalisasi. Era yang jauh berubah dan abad-abad yang lampau. Jika kita tilik fenomena globalisasi dari dari terminologi, globalisasi merupakan hubungan sosial yang intensif dari lokalitas-lokalitas yang ada hingga seluas wilayah di seluruh dunia. Hubungan itu terjalin dengan sangat cepat, berjauhan sedemikian rupa sehingga peristiwa yang sangat jauh keberadaannya, bisa kita akses meski kita berada jauh dari pusat peristiwa.
(lebih…)
Tas Etnik, Yes …
GAYA hidup. Dua kata yang seringkali membawa kita pada kemewahan dan perempuan biasanya menjadi obyeknya. Iklan, televisi dan pergaulan ikut mendorong pola konsumerisme semacam ini. Benda tak lagi cuma dilihat fungsinya, tetapi menjadi pengantar pesan tertentu yang menempatkan seseorang pada level tertentu dalam masyarakat. Tak heran demi mengejar “derajat sosial” itu, orang rela menghabiskan puluhan bahkan ratusan juta rupiah untuk memiliki barang-barang tertentu.
Misalnya gaun atau tas. Siapa tak bangga jika bisa menenteng tas-tas berkelas dengan merk asing semisal Aigner atau Louis Vuitton. Bagi perempuan penggila tas bermerk semacam itu, harga bukan masalah. Seorang karyawan di sebuah perusahaan di Medan misalnya, mengaku harus berpenampilan luks demi menunjang pekerjaannya. Ia tak peduli harus membayar sebesar Rp. 14.000.000 untuk satu tas produk Jerman.
Istri salah satu pejabat di Aceh, seperti ditulis hariansumutpos.com, menenteng tas merk Louis Vuitton seharga Rp. 45.000.000. “Ya kan penampilan saya juga akan mendukung karier suami dengan jabatannya sekarang biar nggak malu-maluin,” ujar Erna. Tapi benarkah tas mahal ikut mempengaruhi citra seseorang atau mampu mengangkat derajat seseorang lebih tinggi daripada mereka yang tampil lebih sederhana? (lebih…)
Ayo Menulis
PAGI itu, setelah kesibukan di rumah sejenak reda, saya meraih sebuah koran yang tergeletak di meja – yang belum sempat saya sentuh sejak diantar loper sekitar pukul enam pagi tadi. Saya memang bangun agak siang. Masih tersisa kelelahan sehabis liburan ke Yogyakarta, saya istirahat sejenak sambil menunggu asisten rumah tangga datang. Bagi anak-anak, ini hari pertama masuk sekolah setelah liburan.
(lebih…)
KOMENTAR