Berbuka
Juli 11, 2015 at 2:17 pm Tinggalkan komentar
KOLOM RAMADHAN
Dianing Widya, pegiat sosial di Spirit Kita.
Zaman akan terus berubah. Begitu pula cara orang untuk menikmati Ramadhan, terutama di kala berbuka puasa. Dulu, orang berbuka cukup dengan cara yang sangat sederhana: segelas teh manis atau dua-tiga biji kurma, plus jajanan ringan alakadarnya. Lalu, orang buru-buru berwudhu untuk salat magrib. Setelah itu baru masuk ke makanan utama.
Namun saat ini berbuka tak ubahnya “merayakan pesta”. Berbuka puasa akan terasa garing kalau hanya dengan teh manis, apalagi dua-tiga biji kurma. Maka, sebagian orang pun kalap untuk menyediakan apa saja di meja makan. Bahkan, jauh-jauh hari, mereka sudah punya sederet “menu” atau “list resto” yang akan dikunjungi dengan orang-orang berbeda.
Mereka menyebutnya buka bersama. Sekaligus reunian. Sekalian silaturahmi. Puasa – seolah – waktu paling baik untuk bertemu. Mereka rela menghabiskan berapa pun uangnya. Sambil foto-foto, shelfie, untuk kemudian diunggah ke media sosial. Lain kali, dengan kelompok yang lain, ritualnya sama: makan, ngobrol, foto-foto, unggah ke media sosial, lalu pulang.
Ritual buka puasa pun tidak jauh-jauh dari kegiatan memproduksi citra. Membentuk persepsi tentang diri sendiri dan kelompoknya. Tentu saja ini tidak ada kaitannya dengan ibadah. Ramadhan hanya digunakan untuk membangun imaji tertentu tentang dirinya. Buka puasa hanya panggung yang mereka gunakan untuk membangun citra diri itu.
Media sosial memang ikut membentuk cara orang bersikap dan berperilaku. Iklan-iklan, di billbord di jalan maupun di televisi, ikut mengajari bagaimana sebaiknya orang menyatakan dirinya kepada khalayak. Baju apa yang sebaiknya dipakai, parfum merek apa yang harus mereka semprotkan di badan, hingga tas dan mobil apa yang bisa mengangkat derajat.
Nah, di acara kumpul-kumpul itulah — salah satunya buka puasa – benda-benda itu bisa ditunjukkan, penampilan mereka bisa diperlihatkan, dan kekayaan dirayakan. Sehingga bagi sebagian orang semacam itu makna puasa bukan merasakan derita haus dan kelaparan, melainkan menikmati hasil kesuksesan.
Maka tak berlebihan jika dikatakan, dari tahun ke tahun, puasa terus mengalami degradasi makna. Umat tidak lagi menjadikan Ramadhan sebagai kesempatan untuk membaca pesan Illahi agar menyayangi sesama dan berbagi dengan si miskin agar tak ada ketimpangan sosial. Berbagi adalah proyek sampingan.
Bahkan, bagi sebagian orang, berbagi pun harus disorot kamera televisi. Melakukan acara amal dengan mengundang wartawan. Nah, bagi yang bukan publik figur, mereka bisa menggunakan media sosial. Jadi, apa yang mereka lakukan, semua diumumkan. Ini tidak seperti anjuran berbagi zaman dulu: tangan kanan memberi, tangan kiri tak tahu.
Fakir miskin, kaum dhuafa dan yatim piatu yang mestinya kita tolong justru terlupakan. Padahal, pada kegiatan puasalah Tuhan ingin kita ikut memikirkan mereka yang papa. Sebab beribadah sejatinya adalah memperhatikan nasib sesama. Maka itu, menjadi sulit dirumuskan makna apa yang dikerja dari puasa. Kita tidak bisa lagi membedakan mana puasa demi pahala dan mana puasa demi citra. Semua jadi kabur dan campur aduk.
Bahkan, bagi sebagian orang tidak penting lagi ditanya untuk apa berpuasa. Alhasil yang kita saksikan sekarang, Ramadhan hanya sekedar seremonial tahunan belaka. Sekedar menahan lapar dan dahaga hingga maghrib tiba.
Koran Tempo, 29 Juni 2015
Entry filed under: Opini.
Trackback this post | Subscribe to the comments via RSS Feed