Sangkan

Juli 3, 2015 at 1:44 pm Tinggalkan komentar

 

Dianing Widya

DI kampung tak ada yang tak kenal Sangkan. Laki-laki berperawakan tinggi, bertubuh kurus, wajah tirus dengan tulang pipi keras itu memang membuat gentar setiap orang.   Matanya sama sekali tak enak saat bertatapan dengannya. Mata yang tak teduh, mata  itu kadang redup karena minuman keras yang merasuk ke tubuhnya,  terkadang  garang karena amarah.

Sangkan gemar membuat keonaran. Setiap hari pekerjaannya keliling pasar mengambil paksa dagangan orang untuk memenuhi keperluan dapur. Pekerjaan resminya menjaga parkir sepeda di atas lahan warisan, di depan pasar dengan tarif harga pas. Artinya tak melayani kembalian. Berapa pun uangnya tak akan dikembalikan kelebihannya.

Itu pula yang membuat orang-orang menggerutu karena lupa menukar uang receh terlebih dulu. Jika ada yang meminta uang kembalian, cukup dengan mendelikkan matanya saja orang sudah bergidik tengkuknya, untuk kemudian memutar balik sepedanya. Toh demikian tak ada pilihan bagi para pelanggan Sangkan. Di pasar itu hanya tanah dia yang masih kosong. Tanah kosong di sekitar pasar sudah berubah wujud jadi kios-kios serta ruko.

Peringai Sangkan sudah dimaklumi orang-orang di kampung. Tijah, Istrinya malu bukan alang kepalang.  Ia geram jika Sangkan pulang membawa bermacam belanjaan.  Ia mencatat semua barang yang dibawa pulang lalu bergegas ke pasar. Menanyai  siapa saja yang dagangannya diambil Sangkan lalu membayarnya.  Merepotkan tetapi harus ia lakukan. Ia tak nyaman jika harus makan dari hasil rampasan.

Ia menyesal mengapa mau dipaksa nikah sama Sangkan, hanya karena ia belum menikah di usia tigapuluh tahun. Ayahnya yang sedang sakaratul maut, memaksanya untuk menerima lamaran Sangkan.  Ia yang terdesak menghadapi orangtua yang tinggal menunggu waktu itu, mengiyakan desakan ayahnya.

Tijah membanting sarung yang baru dilipatnya di atas lincak.  Ia benci peristiwa itu. Mestinya ia menolak keinginan ayahnya. Tak menikah dengan Sangkan. Sekarang ia hanya bisa meratapi nasib. Menjadi perawan tua memang riskan, tetapi tak kesepian seperti sekarang ini. Begitu Tijah  mengeluh.

Menikah dengan Sangkan terbukti membebaskan dia dari gunjingan para tetangga, tetapi tak serta merta membuatnya bahagia. Witing tresno jalaran soko kulino, tumbuhnya cinta karena sering bersama tak terbukti dalam pernikahannya. Yang ada semakin hari Tijah semakin benci sama Sangkan. Ia tak berdaya. Ia tak berani melawan Sangkan. Cukup dengan mata Sangkan yang mendelik sebagai isyarat jangan digugat, Tijah sudah ciut nyali.

*     *     *

 

Matahari baru terbit ketika Rukiyah menaruh sepeda. Dilihatnya Sangkan sedang pulas di kursi panjang diantara beberapa sepeda yang terparkir. Ia meneruskan ke pasar untuk membuka kiosnya. Rukiyah dan orang-orang yang hendak menitipkan sepeda hanya mengira Sangkan tertidur. Sangkan memang suka tidur di parkir sepeda ketimbang pulang ke rumah, jika hari terlanjur larut. Tapi ketika matahari sudah tinggi dan Rukiyah mendapatkan posisi tidur Sangkan yang tak berubah, ia curiga. Terlebih ketika orang-orang mengatakan tidur Sangkan sangat pulas sejak tadi pagi. Tak satu pun orang berani mendekatinya apalagi membangunkannya.

Rukiyah memberanikan diri mendekati Sangkan, memanggilnya beberapa kali. Tak ada tanggapan dari Sangkan, bahkan tubuhnya teramat diam. Rukiyah kian curiga dipandanginya Sangkan lekat-lekat. Panggilan Rukiyah yang berkali-kali membuat orang di sekitarnya ikut mendekat. Beberapa orang laki-laki ikut membangunkan Sangkan, tapi sedikit pun Sangkan tak bergerak. Salah satu diantara mereka mendekatkan punggung telapak tangan ke hidung Sangkan. Sejenak mengernyitkan dahi. Orang-orang saling berpandangan. Sepeda-sepeda yang terparkir membisu.

“Sepertinya ia sudah tak ada.”

“Mati,” ujar Rukiyah dengan nada bertanya.

“Ya.”

Biar pun Tijah benci Sangkan setengah mati, mendengar kematiannya membuatnya sembilu. Saat-saat seperti itulah ia  baru merasakan memiliki suami. Segala perbuatan Sangkan yang membuatnya malu tak berbekas di hatinya. Doa tulus menggema bertalu-talu di hatinya.  Hingga di depan jasad Sangkan ia masih  tak percaya Sangkan telah mati. Sangkan hanya tertidur. Sebentar lagi ia bangun.

Jika Sangkan bangun nanti ia bertekad memperbaiki peringai Sangkan yang kasar. Ia ingin Sangkan berubah jadi orang alim. Sangkan yang lembut dan suka menolong sesama. Alangkah senangnya jika ia memiliki suami seperti dalam angan-angannya. Ia berseru pada Tuhan akan mengubah Sangkan jika Sangkan bangun dari tidurnya.

Orang-orang biar pun tak suka dengan Sangkan, tetap meringankan langkahnya ke rumah Sangkan untuk mendoakannya. Memohon yang kuasa memaafkan segala perilaku Sangkan.

*     *     *

Sayup-sayup Sangkan mendengar alunan bening dari kejauhan. Alunan yang menerbitkan perasaan damai, tentram dan hening. Ia ingin berlama-lama mendengarkan alunan lembut itu. Ia ingin menikmati alunan itu tanpa henti, ia ingin kembali ke jalan Tuhan. Ia ingat perilakunya selama ini ke Tijah, juga ke semua orang. Ia menyesal merasa rugi telah merugikan banyak orang. Aku ingin tobat Gusti. Ingin tobat.

*     *     *

Rukiyah membulatkan matanya. Antara percaya dan tidak, kain yang menutupi wajah Sangkan bergerak naik turun. Bernafaskah Sangkan? Kain itu terus bergerak naik turun. Rukiyah histeris meneriakkan jika Sangkan hidup lagi diikuti orang-orang mengaji memperhatikan ke arah Sangkan yang membuka kain. Orang-orang kalangkabut keluar dari tempat Sangkan dibaringkan.

Hanya dalam sekejap orang-orang mengosongkan rumah Sangkan. Tijah lemas, tulang-tulangnya seperti lepas dari raga demi dilihatnya Sangkan duduk di tepi kasur. Keesokan hari tempat parkir sepeda Sangkan melompong. Orang-orang takut ketemu Sangkan. Satu minggu kemudian baru satu dua orang menitipkan sepeda. Kali ini Sangkan tak mematok harga. Berapa pun orang beri ia terima dengan senang. Sangkan mulai gemar mengucap terimakasih. Ia juga membantu pelangannya mengaitkan karung atau keranjang ke bagasi sepeda.

Perubahan sikap Sangkan pelan-pelan membuat orang jatuh hati pada Sangkan. Bahkan Sangkan menemui orang-orang yang dulu diambil paksa dagangannya dan hendak membayar semua barang yang pernah ia ambil. Orang-orang pun menyampaikan padanya, jika Tijah sudah membayar semua barang yang diambil Sangkan. Sangkan malu pada Tijah dan meminta maaf.

Melihat perubahan Sangkan Tijah heran dan justru tak mengenali Sangkan sekarang. Di rumah hampir pekerjaan rumah Sangkan kerjakan. Ia hampir tak melakukan apa pun. Ia heran Sangkan sangat terampil memasak, menyapu, mencuci sampai menyiram tanaman.

“Siapa sesungguhnya Sangkan.”

Keheranan Tijah mengental ketika Sangkan tiba-tiba bisa menyembuhkan Waskito yang kena batuk kronis. Hanya dengan usapan tangan Sangkan di punggung Waskito, Waskito terbebas dari penyakit batuknya yang menahun.

Tanpa diminta Sangkan mengunjungi Sugeng. Didapatinya Tinuk yang tengah demam tinggi. Sugeng bingung karena obat dari dokter tak juga menurunkan demam Tinuk. Sangkan  membelai dahi dan rambut Tinuk dengan lembut, seraya berkata sebentar lagi Tinuk sembuh. Hanya sekejap setelah Sangkan keluar dari rumah Sugeng, tak ada bekas sama sekali jika Tinuk baru saja demam tinggi. Ia sembuh dan mulai bermain dengan teman-temannya.

Lainkali Sangkan mengunjungi Sandi anak tunggal Darti yang hampir gila karena tunangannya mengembalikan cincin pertunangan dan menikah dengan pria lain. Sandi yang terlanjur terperosok dalam cinta itu lupa mandi, lupa makan juga minum. Yang ia ingat hanya nama mantan tunangannya. Sangkan hanya meraba dahi dan rambut Sandi seraya berkata sembuhlah. Tak lama setelah Sangkan keluar rumah dari Darti, Sandi kembali waras. Kembali bekerja mengurus sawah yang lama ia lupakan.

Sangkan yang mampu menyembuhkan bermacam penyakit itu dikenal dari mulut ke mulut. Banyak orang ingin datang berobat kepadanya tetapi tak pernah satu pun orang yang datang bisa bertemu dengannya. Sangkanlah yang tanpa diminta mengunjungi orang  yang membutuhkan pertolongannya.

Sejak itu Sangkan ditunggu-tunggu oleh keluarga yang sedang kesusahan, tetapi karena banyak orang yang membutuhkan pertolongannya, orang-orang bertekad menunggu Sangkan pulang ke rumah. Mereka menunggu Sangkan di warung yang tak jauh dari rumah Sangkan. Seseorang memberi isyarat untuk tidak berisik ketika Sangkan melewati warung. Masing-masing dari mereka bertekad menemui Sangkan dan meminta Sangkan menyembuhkan penyakit saudara mereka.

Setelah yakin Sangkan sudah masuk ke rumahnya, mereka segera menuju rumah Sangkan. Tijah yang hendak menutup pintu heran melihat begitu banyak orang berkerumun di halaman dengan tujuan sama. Bertemu Sangkan.

“Sangkan belum pulang.”

Orang-orang tak percaya pada ucapan Tijah, dan menuduh Tijah menghalangi mereka. Tijah yang memang tak melihat Sangkan pulang, bersikeras mengatakan jika Sangkan belum pulang.

“Ini sendalnya,” ujar salah satu dari mereka menunjuk sendal yang tergeletak di atas keset. Tijah mengernyitkan dahi. Ia benar-benar tak melihat Sangkan pulang, tetapi sendal di atas keset itu memang satu-satunya sendal Sangkan.

Orang-orang tanpa ampun merangsek ke dalam rumah. Mereka ramai-ramai mencari Sangkan dari satu ruangan ke ruangan yang lain. Sangkan tak ditemukan. Jejaknya  menghilang.

Depok, Mei 2015

Media Indonesia, 21 Juni 2015

Entry filed under: CERPEN.

Menghargai Perempuan Berbuka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


http://novelweton.co.cc

INI BUKU SAYA, BACA YA…

Image and video hosting by TinyPic NOVEL TERBARU

Novel Nawang bercerita tentang perjuangan hidup seorang perempuan. Tokoh novel ini lahir dalam keluarga yang penuh gejolak. Ia ingin mendobrak sejumlah kebiasan di kampungnya yang dianggap membuat perempuan tidak maju dan hanya puas menjadi ibu rumah tangga. Novel seharga Rp 35 ribu ini bisa didapatkan di toko-toko buku, seperti Gramedia, Gunung Agung, toko-toko buku online atau langsung ke Penerbit dan Toko Buku Republika penerbit di Jalan Pejaten Raya No. 40 Jati Padang Jakarta Selatan Telp. 021-7892845 dan faks 021-7892842.

NOVEL SEBELUMNYA

Novel Perempuan Mencari Tuhan karya Dianing Widya Yudhistira ini bercerita tentang reinkarnasi dan keresahan seorang perempuan dalam mencari Tuhan. Novel ini dapat diperoleh di toko buku terdekat, toko buku online, atau langsung ke penerbit dan toko buku Republika di Jalan Pejaten Raya No. 40 Jati Padang Jakarta Selatan Telp. 021-7892845 dan faks 021-7892842.



Novel Sintren masuk lima besar Khatulistiwa Award 2007. Novel karya Dianing Widya Yudhistira bercerita tentang seni tradisi Sintren yang makin hilang. Novel ini sekaligus menyuguhkan drama yang menyentuh: perjuangan seorang perempuan, pentingnya pendidikan dan potret kemiskinan yang kental di depan mata. Selain di toko buku dan toko buku online, juga dapat diperoleh di Penerbit Grasindo.

ARSIP

KALENDER

Juli 2015
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

TELAH DIBACA

  • 130.642 kali

Kategori