Menghargai Perempuan

Juni 25, 2015 at 4:20 pm 1 komentar

 

Dianing Widya, novelis dan pegiat sosial di Spirit Kita, @dianingwy

 

Aceh tak pernah bosan menjadikan dirinya sebagai “selebritis” kontroversial dalam membuat kebijakan yang merugikan perempuan. Tak henti-hentinya para elite Aceh menjadikan perempuan sebagai obyek kebijakan. Teranyar adalah pemberlakuan “jam malam” bagi perempuan oleh Wali Kota Banda Aceh, Hj. IIIiza Saaduddin Djamal. Jam kerja perempuan di sejumlah bidang di malam hari dibatasi hingga pukul 23.00.

 

Ini menambah panjang daftar kebijakan “aneh” di tanah rencong. Sebelumnya, Wali Kota Lhokseumawe mengeluarkan kebijakan agar perempuan tidak duduk ngangkang ketika berboncengan sepeda motor. Kebijakan ini pun sempat membuat sang wali kota sekaligus daerahnya menjadi terkenal. Sang wali kota pun dianggap “kurang kerjaan” sehingga ia “mencari-cari kerjaan”.

Sebab, aturan-aturan semacam itu sama sekali tidak menyentuh substansi beragama. Ia lebih bersifat bungkus dan persepsi. Justru, kebijakan itu menunjukkan kesempitan cara berpikir. Dengan kebijakan itu, seolah-oleh ingin menegaskan bahwa perempuan yang duduk mengangkang atau bekerja sampai malam lebih rendah kastanya. Ketika sebuah sebuah laku dilarang artinya laku itu dinilai tidak baik, bahkan hina.

 

Apalagi ditambah lagi bekerja di tempat hiburan, maka lengkaplah sudah label negatif yang diciptakan untuk memojokkan perempuan. Seolah-olah perempuan menjadi biang dari kemerosotan moral sehingga merekalah menjadi objek yang harus diatur sedemikain rupa. Seoalah-olah perempuanlah yang menjadi biang keladi berbagai kemaksiatan sehingga langkah, ruang gerak dan ekspresi mereka perlu dibatasi.

 

Mereka hanya boleh bekerja di tempat-tempat yang “dianggap” steril dari berbagai kemungkinan kemerosotan moral itu. Maka itu, tempat hiburan, misalnya, tidak termasuk dalam tempat kerja yang “baik” bagi perempuan dan tidak direkomendasikan buat mereka. Lalu, barang siapa yang bekerja di sana mesti mendapat pengawasan ketat dengan aturan yang membuat perempuan itu bisa terselamatkan.

 

Sekilas, kedengarannya aturan yang membatasi jam kerja perempuan itu baik-baik saja. Sebab, ia disampaikan dengan narasi yang luhur: demi melindungi perempuan. Namun, mereka lupa bahwa persepsi semacam itu makin membuat perempuan makin terpuruk dalam ketidakberdayaan. Seolah-olah perempuan harus selalu diberi perlindungan agar mereka bisa terselamatkan dari “buaya-buaya” malam.

 

Namun tidak jelas siapa buaya yang sesungguhnya. Mereka – para penentu kebijakan – membangun imajinasinya bahwa seolah-olah selalu ancaman terhadap perempuan. Menempatkan perempuan sebagai makluk lemah sama saja dengan menghidupkan kembali persepsi bahwa laki-laki adalah superior.  Dengan kata lain, laki-laki adalah makluk kelas satu, sedangkan perempuan adalah makluk kelas dua.

 

Persepsi ini jelas tidak sejalan dengan konsep kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Dalam sejumlah kasus, perempuan bahkan lebih kuat dari pada laki-laki. Maka itu, sesungguhnya hal yang perlu dibedakan dari mereka hanya sisi kodrati. Hal-hal bersifat kodrati itu, misalnya, perempuan itu melahirkan dan menyusui. Adapun soal apakah perempuan boleh mengemudi truk, memanjat kelapa, atau menjadi pemain bola – sebagai misal – itu adalah persepsi.

 

Perspesi dibangun oleh kultur. Nah, kultur inilah yang kerap membuat perempuan “terpinggirkan” secara sosial, ekonomi, maupun politik. Bahkan, agama pun tidak pernah mengatur apakah perempuan harus pakai rok atau celana, boleh duduk mengangkang atau tidak,  sampai boleh keluar yang atau tidak. Agama hanya mengatur sisi yang lebih rasional, semisal, tidak membuka aurat dan berperilaku baik.

 

Maka itu, lagi-lagi, yang membuat perempuan berdaya atau terlindungi tergantung pada persepsi kultural. Sehingga melindungi perempuan bukanlah dengan cara membatasi, tapi dengan membebaskan mereka bergerak dan berekspresi. Perempuan – apalagi sudah dewasa – tentu tahu mana yang terbaik untuknya. Tak perlu pula membawa nama agama. Sebab, sekali lagi, kebijakan semacam ini hanya berlandaskan persepsi.

Koran Tempo, 9 Juni 2015

 

 

 

Entry filed under: Opini.

Rindu Azan Sangkan

1 Komentar Add your own

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


http://novelweton.co.cc

INI BUKU SAYA, BACA YA…

Image and video hosting by TinyPic NOVEL TERBARU

Novel Nawang bercerita tentang perjuangan hidup seorang perempuan. Tokoh novel ini lahir dalam keluarga yang penuh gejolak. Ia ingin mendobrak sejumlah kebiasan di kampungnya yang dianggap membuat perempuan tidak maju dan hanya puas menjadi ibu rumah tangga. Novel seharga Rp 35 ribu ini bisa didapatkan di toko-toko buku, seperti Gramedia, Gunung Agung, toko-toko buku online atau langsung ke Penerbit dan Toko Buku Republika penerbit di Jalan Pejaten Raya No. 40 Jati Padang Jakarta Selatan Telp. 021-7892845 dan faks 021-7892842.

NOVEL SEBELUMNYA

Novel Perempuan Mencari Tuhan karya Dianing Widya Yudhistira ini bercerita tentang reinkarnasi dan keresahan seorang perempuan dalam mencari Tuhan. Novel ini dapat diperoleh di toko buku terdekat, toko buku online, atau langsung ke penerbit dan toko buku Republika di Jalan Pejaten Raya No. 40 Jati Padang Jakarta Selatan Telp. 021-7892845 dan faks 021-7892842.



Novel Sintren masuk lima besar Khatulistiwa Award 2007. Novel karya Dianing Widya Yudhistira bercerita tentang seni tradisi Sintren yang makin hilang. Novel ini sekaligus menyuguhkan drama yang menyentuh: perjuangan seorang perempuan, pentingnya pendidikan dan potret kemiskinan yang kental di depan mata. Selain di toko buku dan toko buku online, juga dapat diperoleh di Penerbit Grasindo.

ARSIP

KALENDER

Juni 2015
S S R K J S M
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930  

TELAH DIBACA

  • 130.642 kali

Kategori