Posts filed under ‘Opini’

Panggung

Dianing Widya, novelis, pegiat sosial, @dianingwy

 

KAPAN pulang kampung? Pertanyaan ini seringkali sudah muncul sejak pekan pertama ramadhan. Bagi perantau pertanyaan itu memang amat relevan karena orang harus mempersiapkan segala sesuatunya untuk pulang kampung. Mulai dari tiket yang harus diambil jauh-jauh hari hingga oleh-oleh untuk sanak-keluarga di kampung. Setelah itu semua tersedia, baru para perantau lega.

 

Maka, pada hari yang ditentukan, mereka pun seperti para pejuang. Mereka berdesak-desakan hingga bertarung dengan kemacetan.  Namun, pemudik tidak pernah peduli. Mudik begitu kuat menghipnotis mereka. Buat mereka, inilah saatnya para pekerja menarik diri dari rutinitas kota dan kembali ke habitatnya yakni udik. Sebab, dari sanalah mereka datang dan berasal. Di sanalah eksistensi mereka yang sesungguhnya.

(lebih…)

September 15, 2015 at 4:01 am Tinggalkan komentar

Rating

Dianing Widya, Novelis dan Pegiat Sosial @dianingwy

TAK ada yang abadi selain perubahan. Karenanya sepanjang  usia peradaban selalu ada perubahan.  Tak terkecuali perilaku manusia serta produk-produk benda yang seolah ada demi memenuhi kebutuhan manusia terkini. Tanpa benda-benda (duniawi) hidup manusia terasa terpinggirkan. Sebab, berbagai benda itulah cara manusia berkomunikasi kepada yang lain tentang siapa dirinya.

 

Perubahan perilaku dan kebutuhan itulah akhirnya dimanfaatkan industri untuk menciptakan suatu produk. Lalu masyarakat dengan sukacita menerimanya, bahkan merayakannya. Salah satu bentuk budaya media itu adalah televisi. Tanpa televisi rumah terasa sepi. Maka segala cara dilakukan oleh keluarga pra sejahtera sekali pun untuk memilikinya.

(lebih…)

September 8, 2015 at 2:27 pm 2 komentar

Memanusiakan Anak

Dianing Widya, novelis, pegiat sosial di Spirit Kita, @dianingwy

 

KASUS Angeline menjadi cermin bagi semua pihak betapa kekerasan terhadap anak, bahkan yang berakibat kematian, begitu mencemaskan. Berdasar data Komnas Perlindungan Anak, pada 2011 ada 2.462 kasus, naik lagi di tahun 2012 sebanyak 2.637 kasus. Tahun berikutnya, 2013, naik fantastik hingga 3.339 kasus. Pada 2014, ada 2.750 kasus. Lalu, pada tahun ini, hingga Mei, sudah terdata 339 kasus.

 

Boleh jadi kasus yang tidak terdata lebih banyak lagi. Sebab, tidak semua kasus mencuat ke permukaan. Namun, angka-angka tercatat itu saja telah menjadi horor bagi kehidupan anak-anak kita. Ini bukan angka main-main. Angka-angka yang terus meroket mengindikasikan negeri kita surga bagi para pelaku kekerasan. Ironisnya kekerasan terhadap anak justru seringkali terjadi di tempat yang semestinya menjadi tempat yang nyaman bagi anak, yakni di rumah dan sekolah.

(lebih…)

Agustus 14, 2015 at 1:25 pm Tinggalkan komentar

Berbuka

KOLOM RAMADHAN

Dianing Widya, pegiat sosial di Spirit Kita.

 

Zaman akan terus berubah. Begitu pula cara orang untuk menikmati Ramadhan, terutama di kala berbuka puasa. Dulu, orang berbuka cukup dengan cara yang sangat sederhana: segelas teh manis atau dua-tiga biji kurma, plus jajanan ringan alakadarnya. Lalu, orang buru-buru berwudhu untuk salat magrib. Setelah itu baru masuk ke makanan utama.

 

Namun saat ini berbuka tak ubahnya “merayakan pesta”. Berbuka puasa akan terasa garing kalau hanya dengan teh manis, apalagi dua-tiga biji kurma. Maka, sebagian orang pun kalap untuk menyediakan apa saja di meja makan. Bahkan, jauh-jauh hari, mereka sudah punya sederet “menu” atau “list resto” yang akan dikunjungi dengan orang-orang berbeda.

(lebih…)

Juli 11, 2015 at 2:17 pm Tinggalkan komentar

Menghargai Perempuan

 

Dianing Widya, novelis dan pegiat sosial di Spirit Kita, @dianingwy

 

Aceh tak pernah bosan menjadikan dirinya sebagai “selebritis” kontroversial dalam membuat kebijakan yang merugikan perempuan. Tak henti-hentinya para elite Aceh menjadikan perempuan sebagai obyek kebijakan. Teranyar adalah pemberlakuan “jam malam” bagi perempuan oleh Wali Kota Banda Aceh, Hj. IIIiza Saaduddin Djamal. Jam kerja perempuan di sejumlah bidang di malam hari dibatasi hingga pukul 23.00.

 

Ini menambah panjang daftar kebijakan “aneh” di tanah rencong. Sebelumnya, Wali Kota Lhokseumawe mengeluarkan kebijakan agar perempuan tidak duduk ngangkang ketika berboncengan sepeda motor. Kebijakan ini pun sempat membuat sang wali kota sekaligus daerahnya menjadi terkenal. Sang wali kota pun dianggap “kurang kerjaan” sehingga ia “mencari-cari kerjaan”.

(lebih…)

Juni 25, 2015 at 4:20 pm 1 komentar

Agar Anak Miskin Terus Sekolah

 

Dianing Widya, novelis, pegiat sosial di Spirit Kita, @dianingwy

Nelson Mandela berujar bahwa pendidikan adalah senjata ampuh untuk menguasai dunia. Kata-kata mantan Presiden Afrika Selatan itu menegaskan betapa pentingnya pendidikan dalam mengubah hidup manusia, bahkan bangsa.  Bangsa yang maju menandakan setiap warganya bisa mengakses pendidikan dengan baik, termasuk anak miskin sekali pun.

Di Indonesia, setiap orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak, seperti digariskan di pasal 31 UUD 1945. Tapi, masalahnya, apakah semua anak di Indonesia sudah bisa mengakses pendidikan. Di atas kertas, sekolah memang gratis, tetapi di lapangan masih banyak ditemukan “iuran” yang harus dibayar siswa ke sekolah. Mulai dari uang masuk sekolah, uang seragam, buku, uang ujian, hingga iuran-iuran “bernilai kecil” yang seringkali membuat orangtua miskin terpaksa menyuruh anaknya berhenti sekolah.

(lebih…)

Mei 25, 2015 at 1:45 pm 2 komentar

Ruang Pribadi dan Jebakan Teknologi

 

Dianing Widya, novelis, pegiat sosial di Spirit Kita, @dianingwy.

Adam Smith dengan istilah “Homo Homini Socius”, mengungkapkan bahwa manusia menjadi sahabat bagi manusia lainnya. Lihatlah anak usia balita, mereka selalu ingin keluar rumah agar bisa bertemu dengan teman seusianya. Manusia membutuhkan orang lain hingga terjalin pergaulan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain.

Pergaulan antar manusia dari waktu ke waktu mengalami berbagai perubahan. Begitu pula dalam cara berkomunikasi. Kini, kita tak membutuhkan kentongan untuk menyampaikan  kabar atau mengumpulkan orang-orang kampung sebagaimana dulu. Bahkan, kita tidak merasa perlu lagi bertemu bertatap-muka. Orang bisa bertemu dengan cara yang lain, yang lebih mudah dan efisien yakni dengan pesan singkat, telepon, chatting, hingga media sosial.

(lebih…)

April 23, 2015 at 1:43 pm Tinggalkan komentar

Rumah di Atas Kuburan

 

Dianing Widya, novelis dan pegiat sosial, @dianingwy

ADA  puisi termasyur yang menggunakan makam sebagai simbol kuat untuk menyatakan duka.  Adalah puisi Malam Lebaran, karya Sitor Situmorang. Puisinya hanya terdiri satu baris: bulan di atas kuburan. Dalam puisi itu, secara konotatif makam digambarkan sebagai dunia “lain” yang menyajikan kemuraman dan aroma kematian yang membetot saraf-saraf kita, hingga ketidakberdayaan manusia sekaligus kekuasaan Tuhan.

Tapi kuburan hari-hari ini maknanya tidak cuma itu. Ia bukan sekedar tempat peristirahatan terakhir. Lebih dari itu, makam merupakan cara keluarga berkomunikasi dengan orang lain.  Keluarga kaya tentu berbeda dengan keluarga miskin dalam urusan makam. Keluarga miskin cukup memakamkan saudaranya dengan sekedarnya. Dua nisan sederhana dari kayu dengan nama yang ditulis dengan piranti sederhana.

(lebih…)

Maret 30, 2015 at 11:10 am 5 komentar

“A” dan “Gama”

Dianing Widya, penulis sastra dan pegiat sosial, @dianingwy

 

SETIAP orang membutuhkan Tuhan dan agama hadir sebagai sarana menuju-Nya. Perjalanan rohani menuju Tuhan itulah idealnya diikuti gerak tubuh yang serba mulia: menghargai pilihan orang lain, tanpa mengganggu pilihan itu.  Hal ini sejalan dengan terminologi agama dalam bahasa Sanskerta: “a” (tidak) dan “gama” (kacau) alias tidak kacau.

Sayangnya sepanjang sejarahnya, agama justru seolah melahirkan kekacauan. Hubungan tak harmonis sesama manusia sering dipacu karena perbedaan agama. Bahkan dalam satu agama pun ada perbedaan mahzab atau ritual yang tak jarang menimbulkan perpecahan. Di Indonesia, misalnya,  begitu banyak persoalan muncul: mulai dari persoalan perbedaan mazhab atau aliran dalam satu agama hingga ketegangan antara satu pemeluk agama dengan pemeluk agama lain.

(lebih…)

Februari 3, 2015 at 2:16 pm 1 komentar

Memaknai Ulang Kurban

 

 

BAHASA  iklan adalah wajar jika bombastis dan berlebihan. Tetapi terasa sangat tidak pas ketika bahasa itu digunakan dalam konteks mengajak orang beribadah. Salah satu contoh, misal, kalimat singkat iklan kurban bertuliskan “Kuantar Kau Ke Surga” lengkap dengan gambar sapi, yang pada punggungnya disertakan sofa nyaman. Hewan ternak itu harus menanggung beban (berjalan ke surga) orang yang mengorbankannya.

Iklan ajakan berkurban ini sepintas wajar saja. Tetapi jika kita telisik lebih dalam lagi, iklan itu ingin berkata bahwa surga amatlah mudah dan murah. Jika kita ingin masuk surga, cukup dengan membeli seekor hewan ternak – atau sapi dalam iklan itu. Seolah, tiket ke surga cukup hanya dengan berkurban. Sehingga kentara sekali agama akhirnya dijadikan bahan komoditi dengan surga sebagai iming-iming.

(lebih…)

Oktober 25, 2014 at 12:57 pm Tinggalkan komentar

Anak Kita

 

Anak Kita

Dianing Widya, novelis dan pegiat sosial di @spirit_kita

 

AKHIR-akhir ini berita tentang beragam pelanggaran hak asasi anak tak henti menyerbu kita. Mulai dari pemukulan, pemerkosaan sampai mutilasi sudah sangat sering terdengar. Kasus terakhir yang ramai disorot adalah penyiksaan anak di sebuah tempat penitipan di Jakarta. Ini membuat kita makin cemas: tempat yang seharusnya terawasi dengan baik dan aman pun bisa terjadi kekerasan.

Tampaknnya ada yang menyimpang dalam tatanan kehidupan sosial kita. Pelaku-pelaku kekerasan sulit dikenali. Ia sering datang dari lingkungan keluarga, tetangga, orang dekat dan sebagainya. Ia bisa berwujud pengasuh, pembantu, tetangga, teman, bahkan saudara dan orang tua sang anak itu sendiri. Dan kekerasan itu bisa muncul tiba-tiba, tanpa sempat kita antisipasi, karena kita begitu percaya pada mereka. Namun melihat kasus-kasus itu, tampaknya kita perlu meningkatkan kewaspadaan.

(lebih…)

September 19, 2014 at 2:17 pm Tinggalkan komentar

Bendera

Dianing Widya, novelis dan pegiat sosial, @dianingwy

 

MEMASUKI bulan Agustus, aroma perayaan hari kemerdekaan kian mengental di setiap lingkungan dan kampung. Mulai dari lomba-lomba yang khas Agustusan hingga umbul-umbul dan bendera. Warga sukarela mengumpulkan dana untuk berbagai kegiatan guna menyambut hari kemerdekaan. Merdeka itu bahagia, bebas dari kerangkeng penjajah. Kemerdekaan merupakan modal dasar untuk menentukan sikap dan mengatur langkah membangun bangsa.

Sayangnya, ada hal yang luput dari perhatian kita. Kita seringkali abai bagaimana memperlakukan bendera. Misalnya, soal waktu pengibaran. Menjelang 17 Agustus, misalnya, orang-orang memasang bendera seminggu sebelumnya dan tidak pernah diturunkan. Padahal, menurut Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1958, lamanya waktu pengibaran hanya 12 jam, pukul 06.00 hingga 18.00.

(lebih…)

Agustus 24, 2014 at 2:12 pm Tinggalkan komentar

Kampanye di Media Sosial

 

Dianing Widya, novelis dan pegiat sosial, @dianingwy

 

KEBERADAAN media sosial tidak hanya memudahkan orang untuk saling berinteraksi, tetapi sekaligus menjadi media untuk  mempengaruhi. Salah satunya seperti dilakukan para tim pemenangan para calon presiden yang akan bertarung pada 9 Juli nanti. Mereka terus menampilkan “iklan-iklan” yang bisa mendongkrak popularitas atau tingkat keterpilihan calonnya. Apa pun kegiatan positif yang dilakukan oleh calon presiden, langsung dikabarkan pada detik itu juga melalui media sosial.

Ironisnya, mereka (para pendukung) tidak hanya mengabarkan sisi positif calon yang didukungnya, tapi juga menciptakan fitnah dan desas-desus yang menghantam calon lain. Bahkan, jika diperhatikan, yang lebih banyak muncul justru bukan informasi positif yang bisa mengangkat si calon, justru tudingan negatif yang menyerang lawan.

(lebih…)

Juni 4, 2014 at 3:33 pm Tinggalkan komentar

Malaikat Penolong

Ma
Dianing Widya, novelisdan pegiat di lembaga sosial Spirit Kita

Kampanye sudah lewat. Tapi tak bisa begitu saja lepas dari ingatan kita bagaimana hiruk-pikuk kampanye itu. Janji-janji meluncur bagai lautan hujan. Semua partai dan caleg berlomba-lomba mengulurkan tangan kepada rakyat. Para politikus mendadak menjadi malaikat penolong. Polanya persis sama seperti pemilu-pemilu sebelumnya. Mereka hanya datang kepada rakyat ketika kampanye.
Rakyat, dalam situasi apa pun, memang selalu menjadi obyek bagi para politikus. Didekati saat mereka membutuhkan dukungan demi kekuasaan. Kekuasaan diperjuangkan dengan berbagai cara. Mereka tak hanya menebar janji, juga menebar uang dan barang. Rakyat memang menerima, karena menganggap pemberian itu adalah wajar. Suap para politisi kepada rakyat disambut dengan gurauan renyah “wani piro?”. Gurauan ini seperti hendak menandai adanya praktek transaksi jual beli dalam perolehan suara.

Jika ditilik lebih jauh, tindakan memberi uang maupun barang bukan hanya mencederai pesta demokrasi. Itu sekaligus preseden buruk bagi rakyat. Sesungguhnya di sini politisi sedang mengajarkan, “beginilah cara menyuap.” Dalam bahasa lain, “saya menyuap Anda, maka Anda harus memilih saya.” Di sana memang tidak ada “perjanjian” secara formal, namun tidak bisa dielakkan ada paksaan halus untuk memilih.
Dalam konteks inilah praktek korup dan suap menjadi lestari. Untuk menduduki kekuasaan, politisi harus mampu menyuap rakyat. Berapa pun besar nominalnya, tak jadi soal. Ibarat bertani atau berladang, tentulah harus ada modalnya. Ini adalah pohon yang mereka tanam yang pada saatnya (jika terpilih alias pohon itu tumbuh subur) akan mereka petik buahnya.
Maka, kekuasaan pun bukan lagi jalan untuk mengabdi, tapi jalan untuk menggemukkan pundi-pundi. Ia hanya (dan hanya) sebagai lahan pekerjaan yang menjanjikan. Bahkan, tak cuma menjanjikan duit banyak, juga popularitas dan peningkatan kelas sosial. Politik pun menjadi salah satu jalan untuk naik ke kelas sosial lebih tinggi. Perekrutan yang dilakukan partai seringkali bukan berdasar pada kecakapan. Mereka lebih senang sosok yang dikenal. Lihatlah betapa banyak selebritas mendadak jadi politisi.
Lewat politik, siapa pun bisa menduduki kelas sosial baru yang lebih tinggi. Bahkan, maling pun bisa naik kelas sosial jika ia memilih jalan politik. Terpenting ia punya modal untuk itu. Tidak selalu modal duit, terpenting terkenal, relasi dan kedekatan dengan link partai politik. Setelah itu tinggal merancang strategi dan taktik, kalau perlu jual tanah warisan atau pinjam sana-sini, sebab toh nanti uang itu akan kembali.
Jadi, pemilu menjadi jalan personal bagi para calon legislator untuk meraih kesuksesan dan kemakmuran dirinya sendiri. Rakyat adalah urusan kedua. Sebab, memikirkan rakyat adalah bagian dari job description pekerjaannya. Ia duduk di gedung parlemen untuk mencari uang, bukan sedang mengabdi. Ini sama saja dengan orang-orang yang bekerja di perusahaan, melayani pelanggan adalah bagian dari diskripsi pekerjaan (tugas), bukan sebagai pengabdian. Sebab, ia mengharapkan pendapatan dari sana.
Adapun jika itu pengabdian, ia tidak menggantungkan hidup (apalagi memperkaya diri) pada apa yang dia lakukan. Maka itu, orang-orang yang kita saksikan hari-hari ini bukanlah malaikat penolong, tapi segerombolan pemburu yang sedang mencari mangsa. Mereka siap memakan apa saja dan siapa saja. Mereka sangat buas dan berbahaya. Waspadalah!

Koran Tempo, 9 April 2014

April 15, 2014 at 2:19 pm Tinggalkan komentar

Ibadah Sosial

Ibadah Sosial

Rabu, 19 Maret 2014 | 03:18 WIB

TEMPO.CO, Jakarta – Dianing Widya, novelis dan pegiat sosial

INDONESIA, dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, seharusnya menjadi sebuah negara yang nyaman dan tenteram, sekaligus terdepan. Watak agama (Islam), yang memuliakan seluruh makhluk, selayaknya membuat penganutnya memiliki kepedulian terhadap lingkungan sosial yang tinggi, sebagai perwujudan ibadah. Ibadah dimaksud bukan hanya yang bersifat vertikal (hubungan manusia dengan Tuhan), tapi juga ibadah yang berdimensi sosial (hubungan manusia dengan manusia).

Ibadah yang terbaik pastilah yang punya dua dimensi sekaligus. Tidak hanya perwujudan takwa kepada Tuhan, tapi sekaligus juga memiliki nilai-nilai kasih sayang terhadap sesama. Misalnya, orang boleh saja 10 kali berhaji. Namun, tanpa kepedulian terhadap sekitarnya, makna ibadahnya menjadi hambar. Selain itu, ibadah tidak perlu terjebak dalam materialisme atau kebendaan.

Kualitas ibadah lebih ditentukan oleh hati yang terpancar melalui sikap dan perilakunya. Sebab, tak jarang orang beribadah terjebak dalam riya’. Misalnya, kesalehan diri dimaknai dengan busana yang melekat pada tubuh, ucapan-ucapan khas ke-Arab-araban, naik haji atau umrah berkali-kali, hingga membikin masjid besar-besar dan megah. Padahal, tiap kali masuk waktu salat, masjid kosong-melompong. Akibatnya, masjid pun mengalami pergeseran makna. Ia menjadi tempat untuk pernyataan identitas. Ditambah lagi, secara berkala, masjid itu mengadakan tablig akbar dengan mengundang ustad selebritas, yang menguras uang tak sedikit. Sedangkan tak jauh dari masjid, banyak anak putus sekolah, anak telantar, orang miskin, yatim piatu, serta kaum duafa.

Kemajuan teknologi memang mendorong manusia terbawa ke arus pencitraan/gaya hidup. Beribadah bukan lagi sebagai ruang komunikasi antara makhluk dan khaliknya. Ibadah bukan lagi dimaknai sebagai hubungan antara seseorang dan Tuhan hingga orang lain tak perlu tahu. Sebaliknya, ibadah justru dirayakan, bahkan diiklankan.

Televisi berperan besar pada pergeseran nilai-nilai spiritual semacam itu. Masyarakat dibanjiri program-Ibadah Sosial

Rabu, 19 Maret 2014 | 03:18 WIB

Maret 27, 2014 at 12:39 pm Tinggalkan komentar

Terkikisnya Kesadaran

Hujan kini menjadi monster. Setiap hujan turun, perasaan pun menjadi waswas akan munculnya banjir. Padahal banjir tidak datang tiba-tiba. Banjir datang melalui proses panjang. Para pegiat lingkungan menyebut: banjir itu akibat ulah manusia. Tapi, tetap saja kita hanya memikirkan banjir ketika banjir tiba. Kesadaran kita terhadap “sesuatu” yang menghadang di depan menjadi sangat tipis. Kita baru benar-benar sadar ketika sudah terbentur “sesuatu” itu.

Kalahnya kesadaran, tentu saja, tidak hanya dalam konteks banjir atau bencana. Dalam segala hal, kesadaran kita makin terkikis. Justru yang makin menguat adalah kesadaran terhadap “ke-aku-an” (ego). “Aku” sadar harus berbuat sesuatu demi keuntungan atau kepentingan “aku” sendiri. Kita makin jarang berpikir “aku” sadar harus berbuat sesuatu untuk “mereka” atau “kita” bersama.
(lebih…)

Maret 14, 2014 at 3:09 pm Tinggalkan komentar

Capres van Iklan

Menjadi presiden, tentulah, sangat menggiurkan. Berada di tampuk kekuasaan merupakan hal yang menyenangkan, begitu kata Friedrich Nietzsche. Maka itu, berbagai cara ditempuh untuk menuju tampuk kekuasaan. Mereka berlomba-lomba memperkenalkan diri kepada rakyat agar dipilih. Salah satunya, “menjual diri” lewat iklan. Bahkan terkadang, kelihatannya iklan lebih penting daripada aksi nyata sang calon.

Iklan dipercaya menjadi salah satu media penting untuk mengenalkan diri ke khalayak. Iklan dibuat semenarik mungkin untuk bisa “melumpuhkan” kesadaran rakyat agar memilih mereka. Seperti halnya iklan produk, iklan politik membekali diri dengan usaha menawarkan/menafsirkan mimpi-mimpi calon konsumen atau orang banyak. Maka iklan capres ditampilkan seolah kita tinggal di negeri atas angin.

(lebih…)

Februari 23, 2014 at 3:19 pm 1 komentar

Older Posts


http://novelweton.co.cc

INI BUKU SAYA, BACA YA…

Image and video hosting by TinyPic NOVEL TERBARU

Novel Nawang bercerita tentang perjuangan hidup seorang perempuan. Tokoh novel ini lahir dalam keluarga yang penuh gejolak. Ia ingin mendobrak sejumlah kebiasan di kampungnya yang dianggap membuat perempuan tidak maju dan hanya puas menjadi ibu rumah tangga. Novel seharga Rp 35 ribu ini bisa didapatkan di toko-toko buku, seperti Gramedia, Gunung Agung, toko-toko buku online atau langsung ke Penerbit dan Toko Buku Republika penerbit di Jalan Pejaten Raya No. 40 Jati Padang Jakarta Selatan Telp. 021-7892845 dan faks 021-7892842.

NOVEL SEBELUMNYA

Novel Perempuan Mencari Tuhan karya Dianing Widya Yudhistira ini bercerita tentang reinkarnasi dan keresahan seorang perempuan dalam mencari Tuhan. Novel ini dapat diperoleh di toko buku terdekat, toko buku online, atau langsung ke penerbit dan toko buku Republika di Jalan Pejaten Raya No. 40 Jati Padang Jakarta Selatan Telp. 021-7892845 dan faks 021-7892842.



Novel Sintren masuk lima besar Khatulistiwa Award 2007. Novel karya Dianing Widya Yudhistira bercerita tentang seni tradisi Sintren yang makin hilang. Novel ini sekaligus menyuguhkan drama yang menyentuh: perjuangan seorang perempuan, pentingnya pendidikan dan potret kemiskinan yang kental di depan mata. Selain di toko buku dan toko buku online, juga dapat diperoleh di Penerbit Grasindo.

ARSIP

KALENDER

Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

TELAH DIBACA

  • 130.642 kali

Kategori