Memanusiakan Anak
Agustus 14, 2015 at 1:25 pm Tinggalkan komentar
Dianing Widya, novelis, pegiat sosial di Spirit Kita, @dianingwy
KASUS Angeline menjadi cermin bagi semua pihak betapa kekerasan terhadap anak, bahkan yang berakibat kematian, begitu mencemaskan. Berdasar data Komnas Perlindungan Anak, pada 2011 ada 2.462 kasus, naik lagi di tahun 2012 sebanyak 2.637 kasus. Tahun berikutnya, 2013, naik fantastik hingga 3.339 kasus. Pada 2014, ada 2.750 kasus. Lalu, pada tahun ini, hingga Mei, sudah terdata 339 kasus.
Boleh jadi kasus yang tidak terdata lebih banyak lagi. Sebab, tidak semua kasus mencuat ke permukaan. Namun, angka-angka tercatat itu saja telah menjadi horor bagi kehidupan anak-anak kita. Ini bukan angka main-main. Angka-angka yang terus meroket mengindikasikan negeri kita surga bagi para pelaku kekerasan. Ironisnya kekerasan terhadap anak justru seringkali terjadi di tempat yang semestinya menjadi tempat yang nyaman bagi anak, yakni di rumah dan sekolah.
Artinya kekerasan terhadap anak justru sering dilakukan oleh orang terdekat seperti orangtua, saudara, juga guru. Banyak faktor yang membuat kekerasan terhadap anak terjadi. Salah satunya adalah kurangnya pengetahuan orangtua/dewasa terhadap hak anak serta jaminan hidup bagi anak. Dalam masyarakat kita, anak seringkali dianggap sebagai sosok yang harus patuh, harus menurut apa saja kata orang yang lebih tua, termasuk orangtua dan guru. Mereka tidak punya daya tawar untuk bisa mengekspresikan keinginan dan kemauannya.
Apabila anak kurang patuh, kurang memuaskan pekerjaannya saat membantu orangtua, anak seringkali dijatuhi hukuman mulai kekerasan psikologis (seperti makian, cemoohan, dan lain-lain) hingga tindakan fisik (kekerasan), termasuk hukuman dikurangi uang sakunya. Di sekolah sama saja: anak yang kurang patuh, misal tak mengerjakan tugas, bisa mendapatkan sanksi dari guru berupa mulai dari berdiri satu kaki di depan kelas, hingga membersihkan toilet.
Orang tua maupun guru kerap berdalih apa yang mereka lakukan sebagai bagian dari “pelajaran” agar anak-anak bertanggungjawab. Mereka lupa, kekerasan ringan itu seringkali tak disadari sebagai benih kekerasan baru. Kelak ketika anak dewasa akan menularkan kebiasaan buruk itu ke generasi berikut. Akhirnya, kekerasan demi kekerasan akan menjadi lestari. Sebab, kekerasan itu sudah “dilegalkan” dan diajarkan sejak dini, sejak seorang anak masih kecil.
Negara pun belum secara intens mengajarkan warganya untuk menghormati dan memanusiakan anak. Sejak mengurus administrasi nikah hingga proses melahirkan di rumah sakit pun, tak ada pedoman atau penyuluhan khusus kepada orangtua mengenai pentingnya menghormati dan menghargai anak. Sehingga, pelajaran dalam mengurus anak hanya mereka dapatkan dengan cara meniru apa yang dilakukan orang lain, terutama orang tua atau keluarga mereka. Dengan kata lain, orangtua dibiarkan mengasuh anak sesuai cara mereka sendiri.
Beruntung anak yang lahir dalam keluarga yang mengerti hak anak. Sayangnya, sebagian besar masyarakat kita kurang memahami hal itu. Sebab, sekali lagi, kultur masyarakat kita menempatkan anak dalam posisi sebagai obyek yang berada di bawah dominasi orang tua.
Kurangnya pemahaman orangtua dalam memperlakukan anak itu diperparah dengan sikap acuh tak acuh dalam masyarakat kita. Sebagian besar masyarakat kita tak peduli dengan anak orang lain. Meskipun mereka melihat di depan mata ada kasus kekerasan terhadap anak, tidak banyak di antara mereka yang berusaha menghentikannya. Apalagi, orang tua yang melakukan kekerasan terhadap anak akan bersikap defensif jika ada “interupsi” dari pihak lain agar tidak melakukan kekerasan terhadap anaknya.
Jadi perilaku masyarakat benar-benar tidak memihak kepada anak. Padahal, pada dasarnya anak sama dengan orang dewasa. Ia makhluk Tuhan yang tubuh dan jiwanya mesti kita hargai, hormati dan kita jamin hidupnya. Dalam diri mereka terdapat eksistensi Tuhan sebagai pencipta. Karena itu, dengan menghargai dan memuliakan anak kita menghargai dan menghormati Tuhan. ***
Dimuat di Koran Tempo, 10 JUli 2015
Entry filed under: Opini.
Trackback this post | Subscribe to the comments via RSS Feed