Ruang Pribadi dan Jebakan Teknologi
April 23, 2015 at 1:43 pm Tinggalkan komentar
Dianing Widya, novelis, pegiat sosial di Spirit Kita, @dianingwy.
Adam Smith dengan istilah “Homo Homini Socius”, mengungkapkan bahwa manusia menjadi sahabat bagi manusia lainnya. Lihatlah anak usia balita, mereka selalu ingin keluar rumah agar bisa bertemu dengan teman seusianya. Manusia membutuhkan orang lain hingga terjalin pergaulan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain.
Pergaulan antar manusia dari waktu ke waktu mengalami berbagai perubahan. Begitu pula dalam cara berkomunikasi. Kini, kita tak membutuhkan kentongan untuk menyampaikan kabar atau mengumpulkan orang-orang kampung sebagaimana dulu. Bahkan, kita tidak merasa perlu lagi bertemu bertatap-muka. Orang bisa bertemu dengan cara yang lain, yang lebih mudah dan efisien yakni dengan pesan singkat, telepon, chatting, hingga media sosial.
Saat ini media sosial menjadi sarana ampuh untuk melakukan berbagai hal. Mulai dari bersosialisasi, silaturahmi, berdagang, hingga memberi dukungan kepada seseorang atau sebuah lembaga. Media sosial memberi manfaat besar jika setiap orang bisa menggunakannya secara wajar. Namun pada perkembangannya, sebagian dari kita tak bisa mengendalikan diri dalam bermedia sosial. Kita terseret bahkan tersesat di dalamnya. Seolah segala hal harus diungkapkan di media sosial, sampai kita benar-benar telanjang.
Tidak semua orang bisa memilah mana peristiwa “publik” yang boleh diungkapkan dan mana peristiwa “pribadi”, bahkan “sangat pribadi” yang seharusnya hanya untuk konsumsi sendiri. Sebab, media sosial bukanlah ruang pribadi, tapi ruang publik. Ia bentuk lain dari public space – di tengah kota atau kampung – yang harus kita jaga. Mulai dari “jangan buang sampah sembarangan” hingga “jangan pipis sembarangan” di ruang publik.
Sebagai mana ruang publik lainnya, ia mesti tetap tampak indah dan tertata. Kita pun harus menjaga etika dan perilaku. Mulai dari sikap hingga cara bertutur dan berkomunikasi. Pergaulan di dunia maya tak berbeda dengan pergaulan di dunia nyata. Tetap ada sopan santun dan tatacara dalam bergaul. Jika dalam dunia nyata bergunjing dan mengungkap aib orang lain adalah perbuatan tak terpuji, di media sosial juga memiliki bobot yang sama. Jika di dunia nyata urusan rumah tangga tabu untuk diumbar, di media sosial pun sama.
Apalagi, semua itu adalah citra diri kita yang langung mendapat respon dari orang lain. Sebagaimana di dunia nyata, sikap dan perilaku kita menunjukkan siapa kita.
Pakar psikologi Amerika Serikat, Irwin Altman, menyebut privasi memiliki peranan penting dalam mengembangkan identitas pribadi. Dengan menjaga privasi seseorang dapat mudah melakukan evaluasi diri dan membantunya mengembangkan dan mengelola perasaan otonomi diri. Perasaan otonomi sendiri meliputi perasaan bebas, kesadaran memilih dan tak terpengaruh oleh orang lain.
Sebaliknya, mereka yang tak pandai menyimpan privasinya, akan tertelanjangi dalam kehidupan sosialnya dan terseret dalam proses deindividuasi. Maka, menjadi sangat penting bagi kita untuk mensortir peristiwa yang bisa dikabarkan ke media sosial (ranah publik) dan mana yang hanya untuk konsumsi pribadi.
Sayangnya, pergaulan di media sosial justru menggeser tata krama dalam bergaul. Manusia seolah bukan saja sebagai sahabat bagi manusia lain – sebagaimana digambarkan Adam Smith — tetapi sekaligus menjadikan manusia sebagai “budak” teknologi. Kita seolah menjadi tak berdaya menghadapinya. Dari hari ke hari, kehidupan dan ruang pribadi kita makin tergerogoti, bahkan tertelanjangi.
Padahal, menurut Don Ihde (“Technology and the Lifeworld”, 1990:140), teknologi bukanlah monster yang bisa mengendalikan manusia. Manusialah yang harus mengendalikannya. ***
Dimuat di Koran Tempo, 16 April 2015
Entry filed under: Opini.
Trackback this post | Subscribe to the comments via RSS Feed