Malaikat Penolong
April 15, 2014 at 2:19 pm Tinggalkan komentar
Ma
Dianing Widya, novelisdan pegiat di lembaga sosial Spirit Kita
Kampanye sudah lewat. Tapi tak bisa begitu saja lepas dari ingatan kita bagaimana hiruk-pikuk kampanye itu. Janji-janji meluncur bagai lautan hujan. Semua partai dan caleg berlomba-lomba mengulurkan tangan kepada rakyat. Para politikus mendadak menjadi malaikat penolong. Polanya persis sama seperti pemilu-pemilu sebelumnya. Mereka hanya datang kepada rakyat ketika kampanye.
Rakyat, dalam situasi apa pun, memang selalu menjadi obyek bagi para politikus. Didekati saat mereka membutuhkan dukungan demi kekuasaan. Kekuasaan diperjuangkan dengan berbagai cara. Mereka tak hanya menebar janji, juga menebar uang dan barang. Rakyat memang menerima, karena menganggap pemberian itu adalah wajar. Suap para politisi kepada rakyat disambut dengan gurauan renyah “wani piro?”. Gurauan ini seperti hendak menandai adanya praktek transaksi jual beli dalam perolehan suara.
Jika ditilik lebih jauh, tindakan memberi uang maupun barang bukan hanya mencederai pesta demokrasi. Itu sekaligus preseden buruk bagi rakyat. Sesungguhnya di sini politisi sedang mengajarkan, “beginilah cara menyuap.” Dalam bahasa lain, “saya menyuap Anda, maka Anda harus memilih saya.” Di sana memang tidak ada “perjanjian” secara formal, namun tidak bisa dielakkan ada paksaan halus untuk memilih.
Dalam konteks inilah praktek korup dan suap menjadi lestari. Untuk menduduki kekuasaan, politisi harus mampu menyuap rakyat. Berapa pun besar nominalnya, tak jadi soal. Ibarat bertani atau berladang, tentulah harus ada modalnya. Ini adalah pohon yang mereka tanam yang pada saatnya (jika terpilih alias pohon itu tumbuh subur) akan mereka petik buahnya.
Maka, kekuasaan pun bukan lagi jalan untuk mengabdi, tapi jalan untuk menggemukkan pundi-pundi. Ia hanya (dan hanya) sebagai lahan pekerjaan yang menjanjikan. Bahkan, tak cuma menjanjikan duit banyak, juga popularitas dan peningkatan kelas sosial. Politik pun menjadi salah satu jalan untuk naik ke kelas sosial lebih tinggi. Perekrutan yang dilakukan partai seringkali bukan berdasar pada kecakapan. Mereka lebih senang sosok yang dikenal. Lihatlah betapa banyak selebritas mendadak jadi politisi.
Lewat politik, siapa pun bisa menduduki kelas sosial baru yang lebih tinggi. Bahkan, maling pun bisa naik kelas sosial jika ia memilih jalan politik. Terpenting ia punya modal untuk itu. Tidak selalu modal duit, terpenting terkenal, relasi dan kedekatan dengan link partai politik. Setelah itu tinggal merancang strategi dan taktik, kalau perlu jual tanah warisan atau pinjam sana-sini, sebab toh nanti uang itu akan kembali.
Jadi, pemilu menjadi jalan personal bagi para calon legislator untuk meraih kesuksesan dan kemakmuran dirinya sendiri. Rakyat adalah urusan kedua. Sebab, memikirkan rakyat adalah bagian dari job description pekerjaannya. Ia duduk di gedung parlemen untuk mencari uang, bukan sedang mengabdi. Ini sama saja dengan orang-orang yang bekerja di perusahaan, melayani pelanggan adalah bagian dari diskripsi pekerjaan (tugas), bukan sebagai pengabdian. Sebab, ia mengharapkan pendapatan dari sana.
Adapun jika itu pengabdian, ia tidak menggantungkan hidup (apalagi memperkaya diri) pada apa yang dia lakukan. Maka itu, orang-orang yang kita saksikan hari-hari ini bukanlah malaikat penolong, tapi segerombolan pemburu yang sedang mencari mangsa. Mereka siap memakan apa saja dan siapa saja. Mereka sangat buas dan berbahaya. Waspadalah!
Koran Tempo, 9 April 2014
Entry filed under: Opini.
Trackback this post | Subscribe to the comments via RSS Feed