Panggung
Dianing Widya, novelis, pegiat sosial, @dianingwy
KAPAN pulang kampung? Pertanyaan ini seringkali sudah muncul sejak pekan pertama ramadhan. Bagi perantau pertanyaan itu memang amat relevan karena orang harus mempersiapkan segala sesuatunya untuk pulang kampung. Mulai dari tiket yang harus diambil jauh-jauh hari hingga oleh-oleh untuk sanak-keluarga di kampung. Setelah itu semua tersedia, baru para perantau lega.
Maka, pada hari yang ditentukan, mereka pun seperti para pejuang. Mereka berdesak-desakan hingga bertarung dengan kemacetan. Namun, pemudik tidak pernah peduli. Mudik begitu kuat menghipnotis mereka. Buat mereka, inilah saatnya para pekerja menarik diri dari rutinitas kota dan kembali ke habitatnya yakni udik. Sebab, dari sanalah mereka datang dan berasal. Di sanalah eksistensi mereka yang sesungguhnya.
Rating
Dianing Widya, Novelis dan Pegiat Sosial @dianingwy
TAK ada yang abadi selain perubahan. Karenanya sepanjang usia peradaban selalu ada perubahan. Tak terkecuali perilaku manusia serta produk-produk benda yang seolah ada demi memenuhi kebutuhan manusia terkini. Tanpa benda-benda (duniawi) hidup manusia terasa terpinggirkan. Sebab, berbagai benda itulah cara manusia berkomunikasi kepada yang lain tentang siapa dirinya.
Perubahan perilaku dan kebutuhan itulah akhirnya dimanfaatkan industri untuk menciptakan suatu produk. Lalu masyarakat dengan sukacita menerimanya, bahkan merayakannya. Salah satu bentuk budaya media itu adalah televisi. Tanpa televisi rumah terasa sepi. Maka segala cara dilakukan oleh keluarga pra sejahtera sekali pun untuk memilikinya.
Memanusiakan Anak
Dianing Widya, novelis, pegiat sosial di Spirit Kita, @dianingwy
KASUS Angeline menjadi cermin bagi semua pihak betapa kekerasan terhadap anak, bahkan yang berakibat kematian, begitu mencemaskan. Berdasar data Komnas Perlindungan Anak, pada 2011 ada 2.462 kasus, naik lagi di tahun 2012 sebanyak 2.637 kasus. Tahun berikutnya, 2013, naik fantastik hingga 3.339 kasus. Pada 2014, ada 2.750 kasus. Lalu, pada tahun ini, hingga Mei, sudah terdata 339 kasus.
Boleh jadi kasus yang tidak terdata lebih banyak lagi. Sebab, tidak semua kasus mencuat ke permukaan. Namun, angka-angka tercatat itu saja telah menjadi horor bagi kehidupan anak-anak kita. Ini bukan angka main-main. Angka-angka yang terus meroket mengindikasikan negeri kita surga bagi para pelaku kekerasan. Ironisnya kekerasan terhadap anak justru seringkali terjadi di tempat yang semestinya menjadi tempat yang nyaman bagi anak, yakni di rumah dan sekolah.
Berbuka
KOLOM RAMADHAN
Dianing Widya, pegiat sosial di Spirit Kita.
Zaman akan terus berubah. Begitu pula cara orang untuk menikmati Ramadhan, terutama di kala berbuka puasa. Dulu, orang berbuka cukup dengan cara yang sangat sederhana: segelas teh manis atau dua-tiga biji kurma, plus jajanan ringan alakadarnya. Lalu, orang buru-buru berwudhu untuk salat magrib. Setelah itu baru masuk ke makanan utama.
Namun saat ini berbuka tak ubahnya “merayakan pesta”. Berbuka puasa akan terasa garing kalau hanya dengan teh manis, apalagi dua-tiga biji kurma. Maka, sebagian orang pun kalap untuk menyediakan apa saja di meja makan. Bahkan, jauh-jauh hari, mereka sudah punya sederet “menu” atau “list resto” yang akan dikunjungi dengan orang-orang berbeda.
Sangkan
Dianing Widya
DI kampung tak ada yang tak kenal Sangkan. Laki-laki berperawakan tinggi, bertubuh kurus, wajah tirus dengan tulang pipi keras itu memang membuat gentar setiap orang. Matanya sama sekali tak enak saat bertatapan dengannya. Mata yang tak teduh, mata itu kadang redup karena minuman keras yang merasuk ke tubuhnya, terkadang garang karena amarah.
Sangkan gemar membuat keonaran. Setiap hari pekerjaannya keliling pasar mengambil paksa dagangan orang untuk memenuhi keperluan dapur. Pekerjaan resminya menjaga parkir sepeda di atas lahan warisan, di depan pasar dengan tarif harga pas. Artinya tak melayani kembalian. Berapa pun uangnya tak akan dikembalikan kelebihannya.
Menghargai Perempuan
Dianing Widya, novelis dan pegiat sosial di Spirit Kita, @dianingwy
Aceh tak pernah bosan menjadikan dirinya sebagai “selebritis” kontroversial dalam membuat kebijakan yang merugikan perempuan. Tak henti-hentinya para elite Aceh menjadikan perempuan sebagai obyek kebijakan. Teranyar adalah pemberlakuan “jam malam” bagi perempuan oleh Wali Kota Banda Aceh, Hj. IIIiza Saaduddin Djamal. Jam kerja perempuan di sejumlah bidang di malam hari dibatasi hingga pukul 23.00.
Ini menambah panjang daftar kebijakan “aneh” di tanah rencong. Sebelumnya, Wali Kota Lhokseumawe mengeluarkan kebijakan agar perempuan tidak duduk ngangkang ketika berboncengan sepeda motor. Kebijakan ini pun sempat membuat sang wali kota sekaligus daerahnya menjadi terkenal. Sang wali kota pun dianggap “kurang kerjaan” sehingga ia “mencari-cari kerjaan”.
Rindu Azan
Rindu Adzan
Dianing Widya
SUARA adzan membosankan akhir-akhir ini. Gemanya memekakkan telinga. Betapa tidak, dalam sehari lima kali beberapa masjid di dekat aku tinggal berlomba-lomba mengeraskan suara saat menggemakan adzan. Dari sekian muadzin tak satu pun yang alunannya menggetarkan hati. Rata-rata dari mereka bersuara tak merdu bahkan cenderung berteriak. Pening mendengarnya, terlebih rumahku berada di samping masjid. Persisnya di sebelah bilik kecil tempat marbot tinggal.
Kadang aku berpikir apakah Tuhan itu sangat jauh, hingga untuk memanggilnya diperlukan pengeras suara? Entahlah.
Agar Anak Miskin Terus Sekolah
Dianing Widya, novelis, pegiat sosial di Spirit Kita, @dianingwy
Nelson Mandela berujar bahwa pendidikan adalah senjata ampuh untuk menguasai dunia. Kata-kata mantan Presiden Afrika Selatan itu menegaskan betapa pentingnya pendidikan dalam mengubah hidup manusia, bahkan bangsa. Bangsa yang maju menandakan setiap warganya bisa mengakses pendidikan dengan baik, termasuk anak miskin sekali pun.
Di Indonesia, setiap orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak, seperti digariskan di pasal 31 UUD 1945. Tapi, masalahnya, apakah semua anak di Indonesia sudah bisa mengakses pendidikan. Di atas kertas, sekolah memang gratis, tetapi di lapangan masih banyak ditemukan “iuran” yang harus dibayar siswa ke sekolah. Mulai dari uang masuk sekolah, uang seragam, buku, uang ujian, hingga iuran-iuran “bernilai kecil” yang seringkali membuat orangtua miskin terpaksa menyuruh anaknya berhenti sekolah.
Ruang Pribadi dan Jebakan Teknologi
Dianing Widya, novelis, pegiat sosial di Spirit Kita, @dianingwy.
Adam Smith dengan istilah “Homo Homini Socius”, mengungkapkan bahwa manusia menjadi sahabat bagi manusia lainnya. Lihatlah anak usia balita, mereka selalu ingin keluar rumah agar bisa bertemu dengan teman seusianya. Manusia membutuhkan orang lain hingga terjalin pergaulan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain.
Pergaulan antar manusia dari waktu ke waktu mengalami berbagai perubahan. Begitu pula dalam cara berkomunikasi. Kini, kita tak membutuhkan kentongan untuk menyampaikan kabar atau mengumpulkan orang-orang kampung sebagaimana dulu. Bahkan, kita tidak merasa perlu lagi bertemu bertatap-muka. Orang bisa bertemu dengan cara yang lain, yang lebih mudah dan efisien yakni dengan pesan singkat, telepon, chatting, hingga media sosial.
Rumah di Atas Kuburan
Dianing Widya, novelis dan pegiat sosial, @dianingwy
ADA puisi termasyur yang menggunakan makam sebagai simbol kuat untuk menyatakan duka. Adalah puisi Malam Lebaran, karya Sitor Situmorang. Puisinya hanya terdiri satu baris: bulan di atas kuburan. Dalam puisi itu, secara konotatif makam digambarkan sebagai dunia “lain” yang menyajikan kemuraman dan aroma kematian yang membetot saraf-saraf kita, hingga ketidakberdayaan manusia sekaligus kekuasaan Tuhan.
Tapi kuburan hari-hari ini maknanya tidak cuma itu. Ia bukan sekedar tempat peristirahatan terakhir. Lebih dari itu, makam merupakan cara keluarga berkomunikasi dengan orang lain. Keluarga kaya tentu berbeda dengan keluarga miskin dalam urusan makam. Keluarga miskin cukup memakamkan saudaranya dengan sekedarnya. Dua nisan sederhana dari kayu dengan nama yang ditulis dengan piranti sederhana.
“A” dan “Gama”
Dianing Widya, penulis sastra dan pegiat sosial, @dianingwy
SETIAP orang membutuhkan Tuhan dan agama hadir sebagai sarana menuju-Nya. Perjalanan rohani menuju Tuhan itulah idealnya diikuti gerak tubuh yang serba mulia: menghargai pilihan orang lain, tanpa mengganggu pilihan itu. Hal ini sejalan dengan terminologi agama dalam bahasa Sanskerta: “a” (tidak) dan “gama” (kacau) alias tidak kacau.
Sayangnya sepanjang sejarahnya, agama justru seolah melahirkan kekacauan. Hubungan tak harmonis sesama manusia sering dipacu karena perbedaan agama. Bahkan dalam satu agama pun ada perbedaan mahzab atau ritual yang tak jarang menimbulkan perpecahan. Di Indonesia, misalnya, begitu banyak persoalan muncul: mulai dari persoalan perbedaan mazhab atau aliran dalam satu agama hingga ketegangan antara satu pemeluk agama dengan pemeluk agama lain.
Charlie Hebdo
LAMA nggak ketemu sama mbak In, bikin kangen. Mumpung ada waktu untuk keluar rumah, saya menyempatkan diri mengunjunginya. Baru membuka pintu, mbak In sudah di depan mata. Selalu ada yang ia bawa jika ke rumah. Tas berwarna putih dari kertas tebal bergambar setangkai mawar lengkap dengan tulisan “Rose”.
Mba In langsung menuju kursi yang kami tata di teras. Menaruh bingkisan di atas meja. Kami duduk saling berhadapan.
“Ada titipan dari Pertiwi buatmu.” Saya tergoda membuka bingkisan itu. Ternyata miniatur menara Eiffel. Saya memandanginya bukan lagi dengan takjub, melainkan dengan dahi mengkerut. Miniatur di tangan kanan ini mengingatkan majalah Satire Charlie Hebdo yang kantornya diberondong tembakan, lalu sepuluh orang meninggal dan belasan lainnya luka-luka. Lama saya memperhatikan miniatur menara ini, seraya mengingat kartun-kartun yang menusuk perasaan itu.
Memaknai Ulang Kurban
BAHASA iklan adalah wajar jika bombastis dan berlebihan. Tetapi terasa sangat tidak pas ketika bahasa itu digunakan dalam konteks mengajak orang beribadah. Salah satu contoh, misal, kalimat singkat iklan kurban bertuliskan “Kuantar Kau Ke Surga” lengkap dengan gambar sapi, yang pada punggungnya disertakan sofa nyaman. Hewan ternak itu harus menanggung beban (berjalan ke surga) orang yang mengorbankannya.
Iklan ajakan berkurban ini sepintas wajar saja. Tetapi jika kita telisik lebih dalam lagi, iklan itu ingin berkata bahwa surga amatlah mudah dan murah. Jika kita ingin masuk surga, cukup dengan membeli seekor hewan ternak – atau sapi dalam iklan itu. Seolah, tiket ke surga cukup hanya dengan berkurban. Sehingga kentara sekali agama akhirnya dijadikan bahan komoditi dengan surga sebagai iming-iming.
Anak Kita
Anak Kita
Dianing Widya, novelis dan pegiat sosial di @spirit_kita
AKHIR-akhir ini berita tentang beragam pelanggaran hak asasi anak tak henti menyerbu kita. Mulai dari pemukulan, pemerkosaan sampai mutilasi sudah sangat sering terdengar. Kasus terakhir yang ramai disorot adalah penyiksaan anak di sebuah tempat penitipan di Jakarta. Ini membuat kita makin cemas: tempat yang seharusnya terawasi dengan baik dan aman pun bisa terjadi kekerasan.
Tampaknnya ada yang menyimpang dalam tatanan kehidupan sosial kita. Pelaku-pelaku kekerasan sulit dikenali. Ia sering datang dari lingkungan keluarga, tetangga, orang dekat dan sebagainya. Ia bisa berwujud pengasuh, pembantu, tetangga, teman, bahkan saudara dan orang tua sang anak itu sendiri. Dan kekerasan itu bisa muncul tiba-tiba, tanpa sempat kita antisipasi, karena kita begitu percaya pada mereka. Namun melihat kasus-kasus itu, tampaknya kita perlu meningkatkan kewaspadaan.
Lapkeu. Spirit Kita Juni-Agustus 2014
Salam,
Terimakasih untuk seluruh sahabat spirit, yang telah mendukung kami menyekolahkan anak-anak kurang mampu. Semoga berkah milik kita semua. Amien. Berikut Laporan Keuangan Spirit Kita dari 21 Juni – 29 Agustus 2014
LAPORAN KEUANGAN
SPIRIT KITA
21 Juni – 29 Agustus 2014
Rp
Bendera
Dianing Widya, novelis dan pegiat sosial, @dianingwy
MEMASUKI bulan Agustus, aroma perayaan hari kemerdekaan kian mengental di setiap lingkungan dan kampung. Mulai dari lomba-lomba yang khas Agustusan hingga umbul-umbul dan bendera. Warga sukarela mengumpulkan dana untuk berbagai kegiatan guna menyambut hari kemerdekaan. Merdeka itu bahagia, bebas dari kerangkeng penjajah. Kemerdekaan merupakan modal dasar untuk menentukan sikap dan mengatur langkah membangun bangsa.
Sayangnya, ada hal yang luput dari perhatian kita. Kita seringkali abai bagaimana memperlakukan bendera. Misalnya, soal waktu pengibaran. Menjelang 17 Agustus, misalnya, orang-orang memasang bendera seminggu sebelumnya dan tidak pernah diturunkan. Padahal, menurut Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1958, lamanya waktu pengibaran hanya 12 jam, pukul 06.00 hingga 18.00.
KOMENTAR