Hamil

Mei 23, 2007 at 11:13 am Tinggalkan komentar

Cerpen Dianing Widya Yudhistira

Sumber: Suara Merdeka, 29 Juli 2001

DESA di kaki bukit itu gempar. Halimah hamil. Air sungai yang biasanya mengalir tenang, bergolak mendengar kabar buruk yang menimpa desa itu. Angin mengeluh. Udara muram.

Penduduk desa marah dengan aib yang menimpa.

“Memalukan!”

“Kita rajam dia.”

“Kita buang.”

Berbagai umpatan geram terlontar.

Itu berarti vonis kematian bagi perempuan itu. Peristiwa yang dulu menimpa Saritem, sudah menjadi cukup bukti bahwa warga tidak akan tinggal diam bila ada warga yang mengotori desanya.

Memang desa di kaki bukit itu bertahun-tahun senantiasa tenang. Perilaku penduduknya santun. Mereka hidup berdampingan. Rajin berkerja dan rajin beribadah. Tetapi ketenangan itu berganti setelah aib itu datang. Halimah, perawan yang dikenal santun itu hamil sebelum waktunya.

Selama ini para orang tua mengagumi Halimah. Terlebih para pemudanya. Perawan yang berkulit bersih dan berparas ayu itu memiliki kecantikan dalam berperilaku. Halimah adalah tauladan bagi anak-anak. Ia suka menolong dan mudah memaafkan. Tetapi kehamilan Halimah di luar nikah menjungkir balikkan kekaguman orang-orang desa.

Perlakuan orang-orang kampung mulai menyakitkan hati Halimah. Orang-orang desa selalu memalingkan muka bila bertemu dengannya. Mereka akan segera masuk dan menutup pintu rumah bila melihat Halimah. Merekapun tak segan-segan menyumpah serapah Halimah. Pedih hati Halimah mendapatkan dirinya mulai tersisih.

Dalam kegiatan apapun di desa itu, Halimah tak pernah dihubungi apalagi dilibatkan. Halimah kini tak lain sosok yang dilupakan. Bahkan dari beberapa orang mengusulkan agar Halimah diusir dari desa itu. Alasan mereka desa itu harus bersih dari orang-orang kotor.

Tak ada yang bisa dilakukan Halimah. Ingin sekali ia menjelaskan kepada orang-orang desa bahwa ia masih Halimah yang dulu. Ingin ia menjelaskan bahwa ia tak pernah melakukan perbuatan hina yang mengakibatkan ia hamil. Jangankan dihadapan orang-orang desa, di hadapan kedua orangtuanya saja ia tak bisa meyakinkan bahwa ia tak pernah melakukan perbuatan hina itu. Halimah merasa sepi dan ngungun.

Kedua orangtua Halimah yang dulu melimpahi kasih sayang kini bersikap sama dengan orang-orang desa. Memusuhinya.

“Sampai hati kau melakukan ini.”

Halimah menggeleng. Berkali-kali mengatakan tidak.

“Nyatanya kamu bunting.”

Halimah tertunduk lesu. Tak ada tempat baginya untuk membela diri. Biarpun beribu kali ia mengatakan tidak, siapapun tak akan percaya. Halimah menunduk. Dilihatnya perutnya yang kian jelas menonjol ke depan. Seiring bertambah usia kehamilannya.

“Aku malu!,” teriak Emak Halimah berulang-ulang.

“Tapi Mak.”

“Kau masih menyangkal. Orang-orang kampung tak sudi lagi menyapaku. Mereka tak lagi mau duduk bersama-sama. Ini karena kau!.”

Halimah menunduk. Hatinya ingin berontak. Ingin menjelaskan tetapi harapan itu berubah bumerang bagi Halimah. Karena memang kenyataan membuat ia merasa kalah.

Sesungguhnya diantara sikap orang-orang desa yang menyakitkan itu, Halimah masih menyimpan harapan kepada kedua orangtuanya. Ia masih berharap kedua orangtuanya mau mengerti, menerimanya dan mendengarkan penjelasannya. Mengalir dalam benaknya kerinduan akan belaian emaknya. Dulu ia sering mendapatkan belaian emak, sekarang belaian lembut itu seperti mimpi tiada bertepi.

Halimah mencoba mengingat-ingat hari-hari yang telah ia lalui. Sedikitpun tak pernah ia lalui hari-harinya dengan perbuatan naif. Hingga ia yakinkan diri bahwa ia tak pernah melakukannya. Halimah tak habis mengerti mengapa ia bisa hamil. Kehamilan yang melahirkan kebencian orang-orang desa.

Dalam kesendiriannya, Halimah sering membela diri. Kalaupun ia hamil, kehamilannya tak membuat orang-orang desa rugi. Orang-orang desa masih tetap bisa bekerja. Masih tetap bisa memanen padinya, memetik hasil kebun. Kehamilannya tak membuat orang-orang yang dulu mengaguminya rugi. Halimah kembali menghela nafas panjang. Betapa berat beban bathin yang harus ia tanggung.

Kebencian orang-orang desa terhadap Halimah kian hari kian membukit. Rapat-rapat desa sering mengusulkan tentang pengusiran Halimah.

“Pezina tak pantas tinggal di desa kita.”

“Usir dia!.”

“Rajam dia!.”

Mereka yang rapat saling berebut untuk mengungkapkan kejengkelan mereka.

Tiba-tiba menyelinap orang tak dikenal berkata diantara orang-orang desa.

“Tunggu sampai Halimah melahirkan.”

“Untuk apa!.”

“Perlakukan Halimah seperti istri-istri kalian. Hormatilah ia.”

Orang-orang desa menyambut kalimat itu dengan nada memojokkan Halimah. Mereka mulai lupa hingga berkata-kata kotor di depan orang tak dikenal itu. Sesungguhnya orang tak dikenal itu tahu betul Halimah tak pernah berzina.

“Aneh! Seorang pezina harus dihormati.

Rapat desa riuh rendah. Saling berteriak menginginkan Halimah diusir dari desa. Tiba-tiba tokoh yang dituakan berkata keras.

“Apakah kalian lupa dengan istri kalian.”

Karena sangat keras, orang-orang desa diam.

“Bagaimana bila kasus Halimah menimpa pada istri kalian atau anak perempuan kalian. Apakah kalian akan tetap mengusirnya sekarang tanpa menunggu ia melahirkan.”

Orang-orang desa terdiam.

“Beri kesempatan Halimah untuk melahirkan. Setelah itu terserah kalian.”

Orang tak dikenal itu tiba-tiba menghilang tanpa satupun diantara orang-orang desa melihat kepergiannya.

“Siapa sesungguhnya dia.”

“Sudahlah tak perlu dipikirkan.”

“Betul.”

“Siapapun orang itu tak penting. Sekarang pekerjaan kita mengusir pezina itu. Ingat! Ia aib bagi desa ini.”

Tanpa menunggu waktu hingga fajar tiba, orang-orang desa itu langsung menuju ke rumah Halimah. Orang-orang desa itu sudah termakan amarah yang berkobar dalam dada masing-masing. Mereka telah lupa.

Dengan kasar orang-orang desa mendobrak pintu rumah Halimah. Masing-masing dari mereka berteriak agar Halimah pergi meninggalkan desa itu. Halimah terpuruk di kursi. Ia terpaku. Memahami teriakan-teriakan orang-orang desa yang dulu menjadi teman baginya.

“Pergi! Pergi pezina!.”

Hati Halimah teriris-iris mendengar teriakan, caci dan maki. Halimah putus asa. Orang-orang desa mulai melempari rumah Halimah dengan apa saja.

“Bakar!.”

Halimah putus asa. Ia pegangi perutnya yang membuncit. Tiba-tiba muncul orang yang tak dikenal dan baru kali ini ia lihat.

“Pergilah Halimah.”

“Tapi.”

Halimah memegangi perutnya.

“Aku tahu kau tak bersalah. Tanpa kau jelaskan aku percaya kau bukan pezina.”

Halimah termangu-mangu. Hatinya sejuk mendengar pengertian orang tak dikenal itu.

“Pergilah sekarang.”

“Kemana.”

“Ke arah utara. Aku temani kau.”

Orang-orang desa terus melempari rumah Halimah dan mulai membakar rumah Halimah.

Ketika percik api pertama menyala. Halimah keluar. Memandangi sejenak orang-orang desa kemudian berjalan ke utara. Orang-orang desa memandanginya. Tak lama Halimah menghilang dari pandangan orang-orang desa.

“Ke mana dia.”

Orang-orang desa saling bertanya.

“Entah.”

Orang-orang desa memang berhasil mengusir Halimah. Seiring dengan tanya yang menggantung dalam benak mereka.

* * *

Kemarau memanjang memaksa tanah pecah-pecah. Di bawah terik matahari, daun yang menua terbawa angin. Jatuh tergelincir ke tanah kering. Air menjadi barang mahal di desa yang dulu hijau itu. Sawah-sawah senantiasa kehausan. Padi kian terpuruk tergerogoti hama yang ganas. Hasil panen dari waktu ke waktu memburuk. Para petani pelan-pelan jatuh miskin.

Tanaman buah-buahan di kebun tak bisa tumbuh seperti tahun-tahun kemarin. Hasil kebun sekarang tak memuaskan. Penduduk desa mulai mengeluh dengan kemarau yang memanjang. Kemiskinan mulai menjalar dan merata di penduduk desa itu. Mereka benar-benar dilanda masa yang amat sulit. Para pemuda banyak yang menganggur. Orang-orang tua mulai pikun. Para istri saling bertengkar. Para suami mulai kehilangan kepercayaan diri.

Wajah-wajah murung sekarang mudah ditemui di desa itu.

“Kapan paceklik ini berakhir.”

“Hidup kian susah.”

Mereka heran dengan kemarau yang memanjang. Tak biasanya musim panas begitu menggigit orang-orang desa itu.

Masa paceklik yang memanjang tanpa disadari satu-persatu orang-orang desa itu berkumpul di tanah lapang. Tak ada yang mereka bicarakan kecuali saling berdiam diri dan melamun. Masing-masing dari mereka saling menyesali nasib. Hingga tanah lapang itu berubah menjadi lautan yang hening.

Dalam diam melintas orang yang tak dikenal. Ia memahami yang tengah di terjadi di desa yang kering itu.

“Kalian puas.”

Kalimat bernadakan tanya itu mengusik orang-orang desa. Ingatan mereka tumbuh bersamaan. Mereka pernah bertemu di saat rapat desa. Orang tak dikenal itu sengaja menumbuhkan ingatan mereka. Ketika rapat riuh dan menjatuhkan vonis agar Halimah di usir. Tiba-tiba saja mereka menyebut nama Halimah bersamaan.

Peristiwa itu terjadi tiga belas tahun yang lampau. Dan selama itu paceklik menghampiri mereka.

“Dalam keadaan hamil yang lemah, kalian usir Halimah.”

“Ya,” jawab mereka bersamaan.

“Kalian sumpah serapahi Halimah.”

“Ya.”

“Kalian bakar rumahnya.”

“Ya.”

Tiba-tiba orang tak dikenal itu menghilang.”

Orang-orang desa tersentak.

“Ia bukan manusia biasa.”

“Ia malaikat.”

“Ia menyadarkan kesalahan kita.”

“Ya, kita telah mengusir wanita yang dalam keadaan lemah.”

“Tapi ia hamil di luar nikah. Ingat itu aib.”

“Kita cari Halimah agar pulang.”

Orang-orang desa itupun mulai sibuk mencari Halimah.

* * *

Halimah menina bobokan anaknya di bawah pohon yang rindang. Ia kini damai hidup di belantara yang senantiasa hijau. Desah dedaunan ditingkahi gemericik air senantiasa menciptakan simponi dalam hati Halimah. Dari kejauhan terdengar derap langkah dan percakapan orang-orang. Ia mendengar namanya di sebut. Itulah pertamakali namanya disebut setelah ia terusir dulu.

Derap langkah itu kian mendekat dan kini orang-orang desa yang dulu mengusirnya ada di depannya. Mereka meminta Halimah pulang.

“Maafkan kami Halimah.”

Halimah menggeleng pelan. Tersenyum kepeda mereka yang dulu mengusirnya.

“Aku sudah menemukan kehidupan yang damai.”

“Kembalilah bersama kami.”

“Tak ada alasan bagiku untuk pulang.”

“Mengapa?”

“Tanyakanlah pada anak ini.”

Halimah memperlihatkan anaknya yang masih bayi. Padahal sudah tigabelas tahun lalu ia terusir. Orang-orang desa tercengang. Wajah bayi itu tiba-tiba mengeluarkan cahaya yang amat terang. Sinarnya merata di wajah orang-orang desa yang dulu telah mengusir ibunya.

Jakarta – Depok, 2000

Entry filed under: CERPEN.

Kematian yang Indah Di Ujung Senja

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


http://novelweton.co.cc

INI BUKU SAYA, BACA YA…

Image and video hosting by TinyPic NOVEL TERBARU

Novel Nawang bercerita tentang perjuangan hidup seorang perempuan. Tokoh novel ini lahir dalam keluarga yang penuh gejolak. Ia ingin mendobrak sejumlah kebiasan di kampungnya yang dianggap membuat perempuan tidak maju dan hanya puas menjadi ibu rumah tangga. Novel seharga Rp 35 ribu ini bisa didapatkan di toko-toko buku, seperti Gramedia, Gunung Agung, toko-toko buku online atau langsung ke Penerbit dan Toko Buku Republika penerbit di Jalan Pejaten Raya No. 40 Jati Padang Jakarta Selatan Telp. 021-7892845 dan faks 021-7892842.

NOVEL SEBELUMNYA

Novel Perempuan Mencari Tuhan karya Dianing Widya Yudhistira ini bercerita tentang reinkarnasi dan keresahan seorang perempuan dalam mencari Tuhan. Novel ini dapat diperoleh di toko buku terdekat, toko buku online, atau langsung ke penerbit dan toko buku Republika di Jalan Pejaten Raya No. 40 Jati Padang Jakarta Selatan Telp. 021-7892845 dan faks 021-7892842.



Novel Sintren masuk lima besar Khatulistiwa Award 2007. Novel karya Dianing Widya Yudhistira bercerita tentang seni tradisi Sintren yang makin hilang. Novel ini sekaligus menyuguhkan drama yang menyentuh: perjuangan seorang perempuan, pentingnya pendidikan dan potret kemiskinan yang kental di depan mata. Selain di toko buku dan toko buku online, juga dapat diperoleh di Penerbit Grasindo.

PALING DIBACA

ARSIP

KALENDER

Mei 2007
S S R K J S M
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
28293031  

TELAH DIBACA

  • 130.639 kali

Kategori