Seni dan Olahraga
November 21, 2011 at 1:23 pm 2 komentar
AKHIR-akhir ini perhatian kita tertuju pada pesta Sea Games yang dibuka dengan perayaan sangat megah, saking megahnya mampu memunggungi realitas sosial kita. Saya menautkan kening. Tak perlu jauh untuk menemukan kaum dhuafa. Tak jauh dari tempat saya tinggal kegetiran begitu nyata. Anak-anak terhenti langkahnya untuk sekolah, karena ketiadaan biaya.
Rata-rata perempuan di dekat saya tinggal, menjadi pembantu rumah tangga paruh waktu. Penghasilan mereka berkisar Rp. 500.000 sebulan. Tak sedikit para suami di rumah menjaga anak-anak karena belum ada pekerjaan. Pemerintah memang membebaskan biaya sekolah selama 9 tahun, tetapi pada prakteknya masih saja ada sekolah negeri yang menarik biaya tanpa laporan keuangan yang transparan.
Saya menghela napas, hampir sulit menemukan ruang untuk bernapas lega di negeri ini. Hampir di setiap sudut selalu ada oknum pejabat negara yang korup. Kasus dugaan korupsi pada wisma atlet sea games adalah kenyataan yang sangat memalukan.
“Jeng,” samar-samar terdengar suara mbak In.
“Jeng,” saya terhenyak. Mbak In sudah berada di samping saya. Kami duduk di teras rumah dan seperti biasa ia datang ke rumah lengkap dengan makanan kecil. Bahkan kali ini bawa dua kemasan kotak minuman ringan.
“Dari tadi melamun saja Jeng. Belum dapat tiket nonton bola yaa.” Saya tersenyum. Mbak segera membuka makanan kecil dan menyuruhku makan.
“Saya nggak sanggup nonton bola Mbak, kalau kita lawan Malaysia. Cukup dengerin teriakan Rizki aja.”
“Untung ada olahraga Jeng.”
“Iya bikin badan sehat,” ujar saya ringan.
“Bukan sekedar itu.” Saya menatap ke mbak In.
Mbak In kali ini mengeluarkan minuman kemasan.
“Beruntung di dunia ini ada olahraga dan seni Jeng. Coba jika tak ada, sepanjang masa dunia isinya ricuh.”
“Benar juga ya,” gumam saya.
“Coba Jeng perhatikan kehidupan politik dan agama di negeri ini. Lalu bandingkan dengan seni budaya dan olahraga. Jika politik dan agama tak jarang membuat kita tercerai berai, seni dan olahraga seringkali mampu menyatukan kita.”
Saya tercenung. Mencoba memikirkan kalimat mbak In.
Depok, 21 November 2011
Entry filed under: Catatan.
2 Komentar Add your own
Tinggalkan Balasan
Trackback this post | Subscribe to the comments via RSS Feed
1. jacob | Februari 26, 2012 pukul 4:54 pm
Sayang, kita tak bisa mendiskusikannya ya
2. dianing | Maret 19, 2012 pukul 12:28 pm
Berlanjut di sini juga bisa mas Jacob. Terimakasih kunjungannya:)