Memahami Sebentuk Hati Mama Fahri
September 30, 2009 at 2:05 pm Tinggalkan komentar
SATU minggu sudah lebaran berlalu, tetapi belum seluruh tetangga saya mintain maaf. Hingga sore ini aku sengaja main ke rumah mama Fahri, sebelum jalan bareng anak-anak buat nonton film Mengejar Impian. Mama Fahri menyambutku dengan mengucap kalimat khas saat lebaran.
“Masuk ma Fira,” ujarnya kemudian. Saya masuk ke ruang tamu yang resik.
“Duduk Ma Fira.”
“Makasih, cuma sebentar aja Ma Fahri.”
“Ya udah, cicipi kue-kue lebaran dulu.”
Saya tersenyum. Tak lama kemudian kami ngobrol santai.
“Gimana pulang kampung kemarin, kena macet nggak?”
“Macet sih nggak, cuma kami dialihkan ke Purwakarta.”
Sejenak saya mengingat perjalanan mudik kemarin yang melelahkan. Begitu kami keluar dari Cikampek, oleh polisi kami diarahkan lewat Purwakarta. Sampai catatan ini saya tulis, masih belum percaya suatu ketika kami bersama keluarga melewati hutan yang sepi tengah malam. Syukur, mobil kami sehat selama perjalanan. Saya agak shock dengan mudik kali ini. Saya sempat sampaikan ke Fira, sulung kami yang memang selalu ingin pulang cepat ke Batang. Saya katakan padanya, bunda tak ingin pulang lagi dengan suasana seperti ini. Kalau ingin pulang lebaran, lebih baik setelah salat Ied. Kita lebaran sehari di Jakarta. Saya ngomel-ngomel menutupi kegundahan saya.
Saya suka berpikiran aneh ketika melewati jalanan sepi dan gelap. Maka malam itu benar-benar perjalanan yang menegangkan. Kami memang tak terjebak macet, tetapi kami berkeliling sepanjang Jawa Barat, sampai pelosok kampung. Nggak ada rumah, nggak ada bangunan. Sangat jauh baru bisa menemukan rumah lagi, itu pun dengan jarak masing-masing rumah berjauhan. Sekali lagi, untung mobil dalam keadaan prima.
“Ma Fira nggak usah mengeluh, semua pasti ada hikmahnya.”
Saya tersenyum. Memang sih kalau ditarik garis lurus untuk mengambil hikmahnya, banyak hikmah yang bisa diambil. Saya dan keluarga tahu bagaimana nanti jika dialihkan ke Purwakarta saat mudik. Cepat-cepat cari jalan pantura, atau mudik dengan menggunakan logika, bukan emosi.
“Saya malah nggak bisa pulang kampung, karena orangtua sudah di sini.”
Mama Fahri mempersilahkan saya meminum segelas sirup es. Saya mengiyakan, tak lama kemudian aku bertanya bagaimana lebaran di sini, kemarin.
“Ya seperti biasa, usai shalat Ied keliling kampung.”
Saya mengangguk. Jadi ingat lebaran dua tahun silam, kami tak pulang karena saya baru melahirkan si bungsu. Kami berkeliling satu RT saling memaafkan, meski setelah itu semangat ramadhan menyusut. Gang ramai pada jam-jam tertentu oleh kelompok ibu-ibu yang suka ngobrol di kursi presiden.
“Saya nggak ikut keliling mama Fira,” ujar mama Fahri tiba-tiba.
“Kenapa, sakit?”
Mama Fahri terdiam sebentar.
“Rasanya saya tak punya kewajiban meminta maaf,” ujarnya lirih seperti bergumam. Membuat saya menautkan kening.
“Yang nggak mudik bu Feri, mama Dipo, mama Marsha, mama Lilis, juga mama Soraya. Mereka orang-orang yang sering menyakiti saya. Mereka lah yang mestinya datang ke rumah meminta maaf ke saya,” mama Fahri mengucpkannya dengan lesu.
“Kalau pun di gang kita ada acara silaturahmi, saya memilih diam di rumah. Sakit rasanya melihat tingkah mereka.”
Saya menelan ludah. Merasakan sakitnya hati mama Fahri. Dia memang seperti saya, juga mbak In, warga yang sering mendapat perlakuan buruk. Bedanya mama Fahri cenderung suka memendam rasa sakit, sedang mbak In menerima perlakuan buruk tetangga dengan lapang dada. Mbak In sering yang memulai terlebih dulu memperbaiki hubungan, sedang mama Fahri mudah meradang, tapi itu manusiawi.
Suatu ketika, Jum’at sore saat di masjid terdekat diadakan pengajian rutin ibu-ibu, mama Fahri sedang menyuapi Fahri. Lewat bu Feri, dengan lantang berujar “Nggak usah nunggu tua baru mau ke masjid.” Saya yang kebetulan sedang berada di rumah mama Fahri, terhenyak. Tak ada siapa pun selain mama Fahri dan saya.
“Setiap Jum’at sore tuh, dia teriak sambil lewat. Lewat sambil teriak,” ujar mama Fahri. Saya mengurut dada sambil geleng-geleng.
Sekarang saya bisa memahami sebentuk hati mama Fahri, mengapa ia tak memilih keliling ke rumah bu Feri, mama Dipo, mama Marsha, juga mama Soraya yang kompak tak mudik. Mereka setali tiga uang. Gemar sekali menyakiti tetangga. Heran saya.
DWY
Entry filed under: Catatan.
Trackback this post | Subscribe to the comments via RSS Feed