Tenggang Rasa
Agustus 30, 2009 at 4:57 am 2 komentar
SEMALAM suami kedatangan tamu istimewa. Petinggi di lingkungan RT, siapa lagi kalau bukan Pak RT. Profesinya yang sama dengan suami membuat kami bisa ngobrol dengan santai di teras rumah. Tak lama datang beberapa tetangga ikut gabung. Dari obrolan ringan itu akhirnya pak RT ngomongin soal tanah kosong di sebelah masjid. Pak RT ingin membuat taman, tetapi menurut suami agak riskan mengingat tanah kosong itu persis ditepi sungai yang menuju Kaliangke.
“Kurang aman buat anak-anak,”begitu ujar salah satu tetangga kami yang merupakan sesepuh kami. Aku suka memanggilnya mbah.
“Sudah buat tempat parkir aja biar ada pemasukan kas RT,” usul pak Muhaemin. Pak RT menanggapi usul Pak Muhaemin itu dengan pemberitahuan berdasar peraturan dari pemda sisa tanah milik pengembang tak boleh buat usaha.
“Kalau begitu usaha cuci mobil Karta digusur aja,” ucap Pak Mirza tanpa kami duga.
“Ya nggak lah semua harus dimusyawarahkan dulu, jangan main gusur, apalagi Pak Karta baru di PHK.”
Aku heran dengan pikiran Pak Mirza yang dengan enteng mengusulkan usaha pak Karta digusur saja, padahal itulah pekerjaan Pak Karta setelah di PHK beberapa bulan lalu.
Kalau pun ada yang mau digusur semua digusur, mengingat salah satu orang yang punya kuasa malah bikin macam-macam di sepanjang tanah kosong. Ada warung sembako, sebelahnya buat jualan bunga hias, lengkap dengan pagar mengelilingi tanaman. Belum di atas sunggi dibikin juga tempat pembibitan bunga. Padahal tanah yang dipakai milik pengembang. Karena dia punya jabatan orang-orang sekeliling takut menegurnya.
Soal tanah kosong yang masih membuat bingung Pak RT itu sebelumnya adalah warung makan bu Rukayah. Bu Rukayah jualan nasi dan lauk pauk yang jelas membuat ibu-ibu, termasuk aku jadi gampang ketika nggak sempat masak. Tinggal beli pada Bu Rukayah. Bu Rukayah juga melayani pesanan. Kalau ada proyek, para pekerja bisa makan di warung bu Rukayah. Para pedagang keliling yang lapar juga tertolong oleh keberadaan warung makan bu Rukayah.
Sayang beribu sayang warung itu dirobohkan. Sebelumnya, entah ini ide nggak sehat dari siapa datangnya. Bu Rukayah disuruh pergi dari situ. Waktu itu bu Rukayah sempat mengeluh ke saya. Kalau dia diusir dan pulang kampung, terus dia bekerja apa.
“Memang siapa yang menyuruh ibu pergi.”
“Ya Pak RT.”
Aku geleng-geleng kepala. Bagaimana mungkin bu Rukayah yang setengah baya itu diusir. Di mana kepekaan mereka yang mengusir bu Rukayah. Orang kok bikin sulit orangtua, nggak takut kualat, ujarku saat itu.
Hingga beredar surat edaran yang meminta tandatangan warga yang menyetujui pengusiran bu Rukayah. Aku nggak ikut-ikutan, aku menyesalkan banget tingkah laku mereka yang ikut tandatangan. Nah salah satu orang yang ngotot Bu Rukayah pergi, adalah Pak Karta. Entah kualat entah enggak, tak lama warung dirobohkan paksa, Pak Karta kena PHK.
Obrolan berakhir tanpa satu kesepakatan, apakah tanah kosong bekas gusuran warung Bu Rukayah itu mau dibikin tempar parkir, agar ada pemasukan RT. Dibikin taman atau dibiarkan saja kosong. Kalau aku sih mengusulkan dijadikan perpustakaan saja, untuk anak-anak sekeliling kami. Mengajarkan anak-anak untuk gear baca, karena manfaat membaca itu luar biasa. Menjadi peka terhadap sekeliling, tahu tenggang rasa dengan sesama, itu salah satunya.
DWY
Entry filed under: Catatan.
2 Komentar Add your own
Tinggalkan Balasan
Trackback this post | Subscribe to the comments via RSS Feed
1. Kika | Agustus 30, 2009 pukul 5:24 am
Itulah yang terjadi saatsaat ini, saat dulu aku berusaha mendirikan taman baca, para pejabat desa rame-rame datang hanya untuk minta sumbangan. Paradoks namun selalu ada garis besar yang bisa ditarik, kesempatan untuk mendapatkan sesuatu tanpa jerih payah.
2. dianing | September 11, 2009 pukul 2:17 pm
Hehe, kalimat terakhir aku suka. Menarik. Makasih ya… Salam.