Ancaman
April 5, 2009 at 2:05 pm Tinggalkan komentar
INI pengalaman pertama yang kurang mengenakkan yang dialami Mbak In. Pengalaman hidup bertetangga dengan berbagai macam sifat atau watak manusia. Sejak lajang, mbak In senantiasa mendapatkan teman yang asik. Baik itu ketika masa-masa sekolah dan kuliah. Semua teman-teman senantiasa hidup saling tolong. Saling dukung dalam meraih cita-cita.
Makanya, ketika mbak In dan suami bisa memiliki rumah di sebuah komplek pinggiran selatan Jakarta, mbak In sedikit bernapas lega. Ia tak perlu lagi memikirkan uang kontrakkan rumah, yang senantiasa naik setiap tahunnya. Sekarang meski masih cicilan, mbak In punya harapan, kelak rumah menjadi milik pribadi. Maka hari-hari pertama pindah dan memiliki tetangga baru, mbak In jalani dengan suka cita.
Ada masalah ketika mbak In hendak membuat dapur dengan sisa tanah di belakang rumah. Mbak In sudah terlanjur memboyong paman dan sepupunya dari kampung untuk membuat dapur. Waktu itu baru menginjak bulan ke dua, mbak In menempati rumah. Ketika dapur sedang dalam pengerjaan, salah satu tetangga yang terlebih dulu pindah memberitahu kalau mau membangun rumah harus menggunakan jasa penduduk setempat.
Mbak In waktu itu mengaku takut dengan cerita tetangganya yang bernama Yanti itu. Yanti ini jauh lebih muda ketimbang mbak In, tetapi gayanya sangat senior. Sok tahu dan sok Yes, begitu mbak In memberi predikat buat Yanti alias mama Feri. Di lingkungan barunya, para ibu dipanggil dengan nama anak. Kebetulan waktu itu anak mbak In baru satu. Umurnya dua tahun lebih enam bulan, namanya Nayla. Jadilah mbak In lebih dikenal, dengan nama mama Nayla.
“Kalau nggak memakai jasa tukang orang sini bu, aduh setiap hari selalu saja diganggu. Saya saja pernah bangun tidur, eh buka pintu ada gantungan air dalam plastik warnanya kuning pekat. Setelah saya buka ternyata air pipis.”
“Masya Allah,” ucap mbak In.
“Iya. Setiap hari datang lagi orang lain minta uang, minta rokok. Kalau nggak kita kasih, wah bisa berabe.”
Mbak In mengangguk-angguk sambil ngeri mendengar penuturan Yanti.
“Pokoknya kalau mama Nayla mau bikin dapur pakai tukang orang sini.”
“Aduh saya sudah terlanjur bawa tukang dari kampung,” ucap mbak In.
“Ya sudah siap-siap saja diusilin orang,” ujar Yanti mantap.
Mbak In akhirnya bingung. Ia pulang ke rumah dan mencurahkan hatinya kepada bapak mbak In. Mbak In cerita dari A hingga Z, sesuai dengan penuturan Yanti. Bapak malah memberi jawaban yang keras. Kalau sudah berani meninggalkan rumah. Merantau, ya harus berani menghadapi gertakan orang. Kalau perlu belajar menggertak orang. Mbak In hanya bisa diam. Bagaimana ia bisa menggertak orang, melihat orang digertak saja ia ketakutan.
Tanpa disangka esok harinya, datang seorang pemuda ke rumah mbak In. Pemuda itu ditemui bapak mbak In. Ia datang persis seperti yang diceritakan Yanti. Meminta pekerjaan. Bapak mbak In dengan tenang, mengatakan sudah membawa tukang bangunan dari kampung.
“Kalau kami ambil lagi dari orang sini, kasihan dia. Banyak menganggur. Lagian tukang yang kami bawa tidak digaji penuh, karena paman sendiri. Kalian mau kerja tanpa gaji?” Pemuda itu tampak bingung. Lidahnya tiba-tiba selip. Tak lama kemudian dia pergi sambil senyum-senyum tak teratur. Entah karena malu atau entah merasa kalah.
Mbak In mendekati bapaknya.
“Gampang khan,” ucap bapak mbak In ke mbak In. Mbak In mengangguk kecil.
“Itu salah satu cara menggertak orang, bicara tenang, tak perlu marah-marah.”
Mbak masih diam sambil memikirkan makna ucapan bapaknya.
“Mengungkapkan kemarahan itu In, tak perlu pakai teriak-teriak, marah-marah. Santai saja. Dan ingat, meski kamu hanya seorang perempuan, jangan mau dibodohin orang. Ditakut-takuti lalu pasrah saja.” Mbak In mengangguk lagi.
“Jangan mengangguk-angguk saja, ngomong.”
“Ya Pak.”
Bapak mbak In tersenyum, mbak In sekarang tahu bagaimana menghadapi orang yang usil.
Lain hari, ketika dapur sudah selesai. Tukang dari kampung sudah lama pulang, bersama bapak, persis tetangga sebelah mbak In didatangi suaminya Yanti. Karena ngobrolnya diluar, mbak In sempat dengar. Dalam obrolan itu suami Yanti cerita sama persis dengan cerita Yanti kepada mbak In.
Mbak In mulai curiga jangan-jangan semua ini hanya rekayasa Yanti dan suaminya. Benar saja tak lama dari obrolan itu, tetangga sebelah mbak In menyerahkan kepercayaan renovasi rumah ke orang yang ternyata masih kerabat Yanti. Sayang sungguh sayang, renovasi rumah itu tak disertai perjanjian yang kuat.
Tetangga sebelah mbak In ditipu mentah-mentah. Uang sebesar sepuluh juta dibawa kabur oleh kerabat Yanti. Sementara rumah dalam keadaan berantakan, karena pekerjaannya ditinggalkan begitu saja.
Sejak itu mbak In berpikir, menjadi orang mesti cerdas. Jangan mudah percaya dengan cerita dan ucapan-ucapan manis seseorang. Sampai sekarang menurut penuturan mbak In, kerabat Yanti itu tak pernah nongol lagi.
DWY
Entry filed under: Catatan.
Trackback this post | Subscribe to the comments via RSS Feed