Mbak Jum nggak boleh Hamil Lagi.
Maret 16, 2009 at 7:52 am Tinggalkan komentar
INI kisah perempuan yang usianya empat tahun lebih tua ketimbang saya. Dulu ia adalah tetangga saya waktu saya masih mengontrak rumah di Cipinang Muara, delapan tahun silam. Beberapa hari lalu tanpa saya duga, mbak Jum begitu saya menyapa, berkunjung ke rumah. Alhamdulillah dia sudah membeli rumah di sebuah kompleks yang lumayan dekat dengan tempat tinggal saya.
Mulanya mbak Jum hanya menghubungi saya, sekedar menanyakan kabar. Jadi saya benar-benar surpraise ketika dia datang berkunjung. Kami duduk di ruang tamu.
“Sama siapa mbak?”
“Sendiri saja, Ning.”
“Anak-anak?”
“Anak-anak sudah gede-gede, dah bisa aku tinggal.” Aku menanggapi dengan tersenyum.
“Emang sudah berapa sekarang anaknya mbak?, maaf nih yang nanya petugas sensus penduduk he he he”
Mbak Jum tak langsung menjawab, ia terdiam cukup lama. Wajahnya yang putih bersih itu berubah muram. Saya jadi merasa bersalah,apakah ini pertanyaan yang kurang berkenan di hatinya. Apakah mbak Jum tak suka kalau saya bertanya tentang kehidupannya. Lama nggak bertemu memang kadang membuat saya ingin tahu tentang dia.
“Maaf mbak pertanyaan saya lancang ya.”
“Eh, apa tadi Ning.”
Saya mengernyitkan dahi. Mbak Jum tiba-tiba seperti kehilangan konsentrasi.
“Oh anakku, sudah dua Ning. Pertama sudah kelas enam yang kedua baru masuk taman kanak-kanak.”
Saya mencoba untuk tidak bertanya-tanya lagi, takut salah tanya.
“Anakmu sendiri Ning, sudah berapa?” Saya menanggapinya dengan tertawa kecil.
“Lho aku serius Ning.”
“Anakku sudah banyak mbak. Sudah empat, tapi yang kuasa hanya mempercayakan tiga anak ke kami.”
“Maksudnya…”
Pertanyaannya yang menggantung aku teruskan saja dengan menjawab tentang anak-anakku. Yang pertama sudah kelas lima, kedua sudah kelas satu, yang ke tiga hanya berumur sepuluh hari. Si bungsu baru satu tahun empat bulan. Mereka semua penyumbang semangat buat saya untuk berkarya. Saya sangat senang berbagi cerita sama mbak Jum. Dulu memang kami sangat akrab, tapi kenapa wajah mbak Jum berubah muram lagi? Saya memilih diam akhirnya. Jadi salah tingkah sendiri. Suasana jadi hening.
“Kamu beruntung Ning, punya keluarga yang harmonis.”
Deg. Saya merasakan ada denyar-denyar aneh dalam dadaku. Kalimat mbak Jum membuat saya ingin menebak-nebak. Mungkinkah mbak Jum yang jauh lebih gemuk dari delapan tahun lalu, keluarganya kurang bahagia? Ah, entahlah.
“Sebenarnya Ning, aku masih pengen punya anak lagi. Kalau hanya dua kok rasanya sepi.”
Saya memilih untuk diam saja. Nggak mau lagi bertanya-tanya. Biar mbak Jum yang cerita.
“Tetapi bapaknya anak-anak sudah wanti-wanti jangan sampai aku hamil lagi.”
Saya menelan ludah.
“Saya akhirnya ikut KB Ning, padahal nggak seneng. Lihat.”
Mbak Jum menggerakkan kedua bahunya sambil melihat ke tubuhnya yang subur.
“Gemuk banget Ning, berat rasanya untuk bergerak.”
Saya mengangguk. Banyak orang mengaku kurang leluasa bergerak karena kegemukan.
“Pengen banget Ning aku nggak ikut KB lagi, tapi ya itu tadi. Takut hamil.”
Saya mengangguk pelan.
“Ning.”
“Ya mbak.”
“Dari tadi kok kamu hanya diam dan mengangguk-angguk saja. Ngomong dong Ning.”
Saya menghela napas.
“Kalau misal mbak Jum hamil lagi, masak sih suami nggak terima. Orang tua bilang, anak kan rejeki mbak.”
“Iya sih Ning, tapi entahlah…”
Tatapan mbak Jum kosong ke arah dinding-dinding rumah saya.
“Sejak saya keluar kerja, praktis pendapatan kami berkurang. Itu yang ditakuti suami. Takut nggak bisa mencukupi kebutuhan kami.”
Saya menunduk.
“Pernah Ning, ketika saya terlambat haid hampir tiga bulan. Suami marah-marah. Ngomel-ngomel sepanjang hari. Semua yang saya kerjakan di rumah nggak ada yang benar. Segala sumpah serapah dia tumpahkan ke saya, sedih Ning.”
Sejenak mbak Jum terdiam. Aku ikut diam. Tetapi hati ini rasanya pedih. Perempuan hamil bukan kesalahan bukan? Toh, dia hamil dengan laki-laki yang halal baginya.
“Sedihnya lagi Ning, dia mulai menjelek-jelekkan saya, kesalahan masa lalu saya diungkit lagi. Sempat juga bilang, dia menyesal menikahi saya.”
Masya Allah. Mbak Jum mulai terisak. Saya dekati dia, refleks tangan kanan saya mengelus-elus punggungnya.
“Tenang mbak Jum, sabar. Barangkali suami sedang khilaf waktu itu.”
Mbak Jum mengangguk-angguk. Lalu berkata-kata lagi sambil terisak.
“Saya stres Ning waktu itu. Dunia seperti gelap. Hingga akhirnya saya kedatangan tamu juga, saya tidak tahu apakah itu haid biasa atau jabang bayi yang hancur, karena kondisi hati yang runyam.”
Saya menghela napas lagi.
“Saya merasa bersalah Ning, saya nggak bisa menjaganya hingga jadi bayi.”
Mbak Jum menyentuh dahinya dengan tangan kanannya. Sementara siku-siku tangan kanannya ia jejakkan ke tangan kursi.
“Kamu tahu Ning, apa sikap suami saya.”
Saya menatap mata mbak Jum.
“Dia tertawa keras-keras mengetahui saya datang bulan lagi, dia senang saya nggak jadi hamil lagi. Sementara hati saya pedih, Ning. Pedih.”
Saya menelan ludah lagi. Ya Tuhan kuatkan mbak Jum.
“Ning.”
“Ya mbak?”
“Kalau suami tak menginginkan saya hamil lagi, mengapa ia masih mendatangi saya, memuaskan hasrat biologisnya ke saya.”
“Itu jauh lebih baik Mbak, dari pada suami entah ke mana.”
“Apa lebih baik nggak usah saya layani, orang dia mengancam setiap kali aku hamil.”
“Wah bisa runyam mbak.”
“Biarin saja dia jajan sembarangan di luar,” kali ini ucapannya berapi-api.
“Hust jangan mbak, istighfar.”
Mbak Jum menatapku.
“Saya yakin sampeyan bisa menghadapinya.”
Mbak Jum memaksakan senyumnya. Semoga keluarganya akan baik-baik saja. Amien.
DWY
Entry filed under: Catatan.
Trackback this post | Subscribe to the comments via RSS Feed